Archive for Januari 2015
Perjalanan Inspirasi
Judul
Buku : Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Pengarang
: Idrus
Penerbit
: Balai Pustaka
Halaman
: 172 halaman
Anda
tentu tak asing dengan karya yang satu ini. Buku ini merupakan kumpulan dari karya
– karya Idrus semenjak kedatangan Jepang tahun 1942 hingga sesudah 17 Agustus
1945. Adanya perbedaan masa membuat karya-karya beliau di dalam buku, dibagi
dalam 3 bagian. Tentunya pembagian ini tak hanya sebatas soal waktu. Ada hal
lain yang mendasari pembagian karyanya itu.
Bagian
pertama yaitu “ Zaman Jepang “, berisi sebuah cerpen yang berjudul Ave Maria
dan satu naskah drama yang berjudul Kejahatan Membalas Dendam. Ave Maria
menceritakan kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Sedangkan
drama kejahatan membalas dendam menceritakan tentang konflik Ishak dengan Pak
Orok ( Suksoro ) yang merupakan ayah dari kekasih Ishak. Adapun hal yang
membuat kedua karyanya ini dimasukkan dalam satu bagian. Pertama, cerita di
bagian ini cenderung pada aliran romantisme dan menawan hati. Kedua,
karya-karyanya cenderung berupa konflik-konflik serius. Ketiga, pada bagian ini
lebih banyak kosa kata asing yang berasal dari bahasa Belanda yang membuat
karyanya cenderung ‘kebarat-baratan”.
Bagian
kedua yaitu “ Corat – coret di Bawah Tanah”, semuanya berisi cerpen – cerpen
karya beliau. Jelas bahwa beliau jenuh dengan aliran romantismenya. Ia menulis
seputar kehidupan masyarakat pada masa pendudukan Jepang dalam kacamata
realistis humoristis. Karya – karya beliau di bagian ini yaitu Kota Harmoni,
Jawa Baru, Pasar Malam, Sanyo, Fujinkai, Oh…Oh…Oh!, dan Heiho. Secara umum,
semua karyanya menceritakan kehidupan pada masa pendudukan Jepang, dengan cara
yang lebih menarik dan segar. Berbeda dengan bagian sebelumnya yang cenderung
kebarat-baratan dan romantik. Lagi, jika pada bagian “Zaman Jepang” menggunakan
bahasa yang halus, tapi di sini bahasanya cenderung bahasa “ pada umumnya “.
Bagian
ketiga yaitu “ Sesudah 17 Agustus 1945 “, berisikan cerpen – cerpen seperti
halnya “ Corat – coret di Bawah Tanah “. Cerpen – cerpennya yaitu Kisah Sebuah
Celana Dalam, Surabaya, dan Jalan Lain
ke Roma. Pada bagian ini, bisa dianalogikan sebagai bagian “ dan lain – lain “
mengingat adanya perbedaan sekalipun bisa dianggap sama. Pada cerpen Kisah
Sebuah Celana Dalam, sifatnya lebih humoris meski realistik. Pada cerpen
Surabaya cenderung realistic serius. Sedangkan pada cerpen Jalan Lain ke Roma
beraliran romantik, humoris, dan realistis.
Adapun
keunggulan buku ini. Pertama, buku ini berisi varian karya dengan aliran yang
berbeda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, buku ini dibagi dalam 3
bagian. Anda tentu jenuh dengan kumpulan cerpen dengan aliran yang itu – itu
saja. Dengan aliran – aliran pada buku ini, akan tak akan jenuh. Pada bagian “
Zaman Jepang “ anda akan disajikan cerita – cerita romantic yang menyentuh.
Lalu pada bagian “ Corat – coret di Bawah Tanah “ anda akan disajikan kita
kehidupan yang menyentuh. Lalu pada bagian “ Sesudah 17 Agustus 1945 “ anda
akan merasakan sesuatu yang berbeda dari 2 bagian terdahulu. Unik, bukan?
Kedua,
isi ceritanya yang menarik dan intrik yang unik di setiap ceritanya. Anda juga
bosan jika kumpulan cerpen yang anda baca berisi tema cerita yang sama. Dengan
intrik – intrik yang unik ini, selain menghibur pembaca, juga menambah wawasan
kita mengenai sejarah Indonesia tempo dulu. Apalagi jika anda membaca bagian “
Corat – coret di Bawah Tanah “, yang sarat akan sejarah Indonesia yang tentu
tak dijumpai di buku sejarah yang menjadi ciri khas buku ini.
Sekalipun
anda memandang konflik yang diangkat dalam buku ini tidak sesuai dengan
kehidupan sekarang, namun buku ini masih cukup menarik. Apa benar buku – buku
terbitan zaman dulu itu tidak menarik? Tentu tidak! Saya ambil contoh dari
Amerika Serikat. Buku karya Mark Twain yang paling terkenal, Tom Sawyer, masih
jadi yang menarik di sana. Padahal buku ini dibuat pada masa Civil war , yang
tentu sangat lama. Jadi, anggapan itu sebaiknya dibuang sejauh mungkin.
Kelemahan
dari buku ini adalah dari sisi bahasa. Kita mafhum bahwa buku ini dibuat
sebelum munculnya EYD ( Ejaan Yang Disempurnakan ) dan sebelum munculnya KBBI
karya W. J. S. Poerwadarminta. Dari survei yang saya lakukan, membuktikan bahwa
alasan orang – orang malas membaca roman – roman dan kumpulan cerpen zaman dulu
adalah karena kendala bahasa. Saya menyarankan kepada Balai Pustaka yang telah
berpengalaman dalam mencetak karya – karya sastrawan Indonesia, terutama buku
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, untuk melakukan langkah yang berani untuk
menyempurnakan bahasa pada buku tersebut agar mudah dipahami oleh para pembaca.
Buku terjemahan saja diterjemahkan agar dapat dipahami, mengapa buku karya
sastrawan Indonesia tidak? Dengan
penerjemahan dan penyederhanaan bahasa, buku ini tentukan akan semakin diminati
pembaca.
Jika
bicara secara keseluruhan, buku ini sangat bagus dan layak untuk dibaca. Selain
menghibur, buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma juga sarat sejarah yang
dapat menambah wawasan kita, seperti yang telah dikatakan pada alinea
sebelumnya. Selain juga anda akan merasakan perjalanan inspirasi dan aliran
dari penulisnya dalam buku ini. Bacalah dan rasakan sensasinya!
Sumber Referensi :
https://www.academia.edu/8492939/Dari_Ave_Maria_ke_Jalan_Lain_ke_Roma_Karya_Idrus
Pesona KH. Muhammad Dimyati (Buya Dimyati Cidahu)
Beliau bernama lengkap KH. Muhammad
Dimyathi bin Muhammad Amin al-Bantani yang biasa dipanggil dengan sebutan
“Abuya Dimyati”, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”. KH.
Muhammad Dimyati yang biasa dipanggil dengan Buya Dimyati merupakan sosok Ulama
Banten yang memiliki karismatik, beliau lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H
bertepatan dengan tahun 1920. Anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak
kecil Buya Dimyati sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pon-pes Cadasari,
kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Nasabnya
bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui Maulana Hasanuddin, Sultan
Banten pertama.
Masa kecil Abuya dihabiskan di kampung kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut
ilmu, Abuya dididik langsung oleh ayahandanya, Syaikh Muhammad Amin bin Dalin.
Lalu melanjutkan berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan Islam ke berbagai
pesantren di tanah Jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, Kadu
Pesing, Pandeglang, Pelamunan, Plered Cirebon, Purwakarta, Kaliwungu,
Jogja, Watucongol, Bendo Pare dan sebagainya sampai usia sudah setengah baya.
Di sekitar tahun 1967-1968 M, beliau berangkat mondok lagi bersama putra
pertama dan beberapa santri beliau.
Abuya berguru pada
ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri
Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah
Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech
Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki
kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama
kemudian para kiai sepuh wafat.
Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri.
Ketika mondok di Watu Congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri,
besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan
datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus
akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar selama 40
hari abuya tak pernah di tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar
memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah.
Perlu kamu ketahui di sini tidak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu
pulang saja syarahi kitab-kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji disini mbah.
Kalau begitu kamu harus membantu mengajar dan tidak boleh punya teman.
Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi
Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah
Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika Abuya bermaksud
berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau menyuruhnya
beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan
tariqat kepada Abuya. Kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu
bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan
tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.
Di pondok Bendo Pare, Abuya
dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang
berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para
santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.
Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan
perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat
Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau
penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’
dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun.
Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah
mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian
kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.
Abuya Dimyati pertama
menikah dengan Hj. Ashmah binti Abuya Jasir pada tahun 1948 ketika Abuya
Dimyati mondok di Kadupeusing. Pernikahan ini dikaruniai 7 orang anak, yaitu
Ahmad Muhtadi, Muhammad Murtadlo, Abul Aziz Fakruddin, Ahmad Muntaqo, Musfiroh,
Ahmad Muqatil dan Ahmad Syafi’i (wafat ketika lahir). Pernikahan kedua Abuya
Dimyati adalah dengan Nyai Qamariyyah, Karawang, ketika mondok di Mama Sempur
Purwakarta, antara tahun 1951-1953. Pernikahan kedua ini memperoleh dua orang
anak yang keduanya meninggal dunia saat masih bayi. Pernikahan ketiga Abuya
Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Dalalah binti KH Nawawi, ketika mondok di Mbah
Dalhar, Watucongol, tahun 1956. Pernikahan ketiga ini dikaruniai enam orang
anak, yaitu Ahmad Ajhuri, Qayyimah, Ahmad Mujahid, Ahmad Munfarij, Ahmad Mujtaba,
dan Ahmad Muayyad. Pernikahan keempat Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj.
Muthi‘ah, Serang, pada tahun 1970 M. Melalui pernikahan ini Abuya Dimyati
dikaruniai seorang anak, Muhammad Thoha yang meninggal dunia ketika lahir.
Pernikahan kelima Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Afifah binti H.
Marhasan, Pandeglang, pada tahun 1997 dan tidak dikaruniai anak.
Buya Dimyati merintis
pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan
ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang
memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyak lagi murid-murid
beliau yang mendirikan pesantren. Dalam menerapkan tahfiz Qur`an kepada para
santrinya, Abuya Dimyati mengharuskan terlebih dahulu belajar kitab salaf
secara mendalam sebelum menghafal Al-Qur`an. Menurutnya, ketika seseorang
terlebih dahulu menghafal Al-Qur`an sebelum pandai memahami dan mengkaji kitab
salaf maka ia tidak akan maksimal mempelajari Al-Qur'an.
Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya
jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga
dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali.
Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para
tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti
pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya
mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam.
Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah sadziliyah yang
jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah
Ki Mufassir Padarincang, Abah Ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far
Asseqaf pengasuh Majelis Ta’lim Nurul Musthofa, Jakarta dan tentunya
putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.
Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering
dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran
berbasa- basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi
yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak
tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah
gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majelisnya tak berlistrik.
Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah.
Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan
berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan
berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup
sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat pada malam jum’at jam
tanggal 07 sya’ban 1423 H. Bertepatan dengan 03 oktober 2003 (7 Sya‘ban 1424 H)
dalam usia 78 tahun, setelah bermarhaban baru selesai. Abuya meninggalkan 3
orang istri, 6 orang putra, dan 2 orang putri. Karya Abuya yang telah dicetak
di Pesantren Raudatul ‘Ulum Cidahu adalah Minhaj al-Istifa fi Khashaish Hizb
an-Nashr wa Hizb al-Ikhfa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa.
Dikarang pada bulan Rajab 1379/1959. Al-Hadiyyah al-Jalaliyyah fi
ath-Thariqah asy-Syaziliyyah tentang tarekat Syadziliyyah, ashl al-Qadr fi
Khashaish Fadlail Ahl Badr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr, Rasm
al-Qashr fi Khashaish Hizb an-Nashr isinya yaitu menguraikan tentang hizib
nasr, Bahjah al-Qalaid fi ‘Ilm al-‘Aqaid, Nur al-Hidayah fi Ba‘d ash-Shalawat
‘ala Khair al-Bariyyah, dan Majmu‘ah al-Khutab. Selain karya tersebut, sebuah
karya berjudul Madad al-Hakam al-Matin musnah dalam musibah kebakaran
kediamannya pada tahun 1987.
Karomah Abuya Dimyati
1.) Mengkhatamkan Kitab Tafsir Ibnu
Jarir Dalam Waktu Singkat
Di tahun 1999, dunia dibuat geger,
seorang kyai membacakan kitab Tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak
yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan
Abuya, pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu
Jarir itu setelah khatam 4 kali membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).
2.) Berziarah Di Baghdad Setiap Malam
Jum’at
Salah satu cerita karomah lain adalah,
ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Makam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di
Baghdad, Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena banyak
kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi, dia dapat menziarahi sampai ke Makam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani. Ketika sampai di makam tersebut, maka penjaga makam bertanya
padanya, "Anda dari mana?" Si kyai menjawab, "Dari
Indonesia." Maka, penjaganya pun langsung bilang, "Oh, di sini pada
setiap malam Jum'at ada seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah hanya
duduk saja di depan makam beberapa waktu, namun peziarah-peziarah lain akan
ikut diam demi menghormati beliau, setelah beliau mulai membaca Al-Qur'an, baru
para penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri.
Mendengar hal itu, kyai tadi kaget, dan
berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama
tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya
Dimyati. Maka kyai tersebut terkagum-kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia
menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di makam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan
santri-santrinya.
3.) Karomah-Karomah Lain
Cerita-cerita lain tentang karomah
Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Misal seperti; masa
perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan;
kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di
Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat kepada gurunya, KH. Rukyat
(Mbah Ru’yat) Kaliwungu Kendal. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran
orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan
Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia.
Sumber :
Buku Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona
langkah di Dua Alam)
Buku Para Penjaga Al-Qur'an, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2011
http://suhaedialvhega.blogspot.com/2012/05/buya-dimyati.html
https://www.facebook.com/KumpulanKaromahSyaikhAbdulQodirJailaniRa/posts/584425301578208
http://penatas.blogspot.in/2011/05/biografi-abuya-dimyati-banten.html
http://pesantrenkaliwungu.blogspot.in/2014/05/kh-dimyati-banten-abuya-dimyati.html
Asal Usul Banten dan Rentetan Sejarahnya
Masjid Agung Banten
Masjid
Agung Banten merupakan situs bersejarah yang terletak di Desa Banten lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten. Masjid ini di
bangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Putera Sunan Gunung Jati, sekitar Tahun
1552 - 1570 M. Bangunan masjid Agung Banten merupakan suatu komplek dengan luas
tanah 1,3 ha yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi
tembok timur dan masing-masing terdapat dua buah gapura dibagian utara dan
selatan yang letaknya sejajar. Bangunan masjid menghadap ketimur berdiri diatas
pondasi masif dengan ketingggian satu meter dari halaman. Masjid ini memiliki
halaman yang luas dengan taman yang dihiasi Bunga - bunga Flamboyan. Bangunan
Tiyamah merupakan bangunan tambahan yang letaknya di sebelah selatan masjid.
Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno. Di bangun oleh Hendrick
Lucas Cardeel, seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan oleh sultan
diberi gelar Pangeran Wiraguana.
Bangunan
ruang utama berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 25 x 19 m. Lantai
terbuat dari ubin berukuran 30 x 30 cm, berwarna hijau muda dan dibatasi
dinding pada keempat sisinya. Dinding timur memisahkan ruang utama dengan
serambi timur. Pada dinding ini terdapat empat pintu (dengan lubang angin) yang
merupakan pintu masuk utama. Pintu terletak dengan bidang segi empat dari
dinding yang menonjol berukuran 174 x 98 dengan dua daun pintu dari kayu.
Bagian atas pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran. Lubang angin pada
dinding timur ada dua buah yang mengapit pintu, pintu paling selatan berbentuk
persegi panjang dan di dalamnya terdapat hiasan motif kertas tempel, Dinding
barat tersebut berhiaskan pelipit rata, penyangga, setengah lingkaran dan
pelipit cekung.
Dinding
sisi utara membatasi ruang utama dengan serambi utama dengan sebuah pintu masuk
berbentuk empat persegi panjang ukuran 240 x 125 cm, berdaun pintu dua buah
dari kayu. Jendela pada dinding utara dua buah dengan dua daun jendela
berbentuk segi empat berukuran 180 x 152 cm. Sedangkan dinding selatan hanya
mempunyai satu pintu yang menghubungkan ruang utama dengan pawestren di dekat
sudut barat dinding.
Bangunan
lain yang ada di Masjid Agung Banten di mana diantaranya pada jarak 10 m dari
kolam dibagian timur (depan) masjid terdapat menara berwarna kuning muda dan
tingginya 23 m. Menara Mesjid Agung Banten dibangun oleh Lucas Cardeel, Menurut
K.C Crucg berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten ini sudah ada sebelum
tahun 1569/1570, bahkan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya, ia
berkesimpulan menara ini didirikan pada pertengahan kedua abad XVI yaitu antara
tahun 1560 sampai 1570. Dan dapat dimasuki sampai ke atas melalui 82 buah anak
tangga. Di dalam menara terdapat empat pintu dan bentuknya sama dengan pintu
masuk menara. Bangunan menara terbagi atas tiga bangunan yaitu kaki, tubuh dan
kepala.
Kolam
berada di dalam serambi timur berbentuk persegi panjang terbagi atas empat
kolam kotak yang dipisahkan oleh pematang tembok dan dihubungkan dengan lubang
pada masing-masing pematang. Kolam berukuran 28,1 - 3,10 m dan dalamnya antara
75-100 cm. di sekeliling kolam terdapat tembok setinggi 1,29 m dan tebalnya
32,5 cm. Untuk mencapai kolam di sediakan tangga turun sebanyak tiga anak
tangga dari arah halaman dan lima anak tangga dari serambi timur.
Selain sebagai Obyek Wisata Ziarah, Masjid
Agung Banten juga merupakan Obyek Wisata Pendidikan dan Sejarah. Dengan
mengunjungi Masjid ini, Wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah
Kerajaan Islam di Banten pada Abad ke-16 M, serta melihat keunikan
arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa, Cina dan Eropa.
Di
serambi kiri Masjid ini terdapat Makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan
Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Nashr Abdul Kahar (Sultan
Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhamad,
Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan
Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin,
Ratu Salamah, Ratu Latifah dan Ratu Masmudah.
Makam “Banten” :
1. Makam
Pangeran Arya Mandalika
Pangeran Arya Mandalika adalah Putra Sultan Maulana Yusuf dari Isteri yang lain (bukan Permaisuri Ratu Khadijah). Pangeran Arya Mandalika menjabat sebagai Panglima Perang merangkap Menteri Perlengkapan, terletak di Kampung Kroyo sebelum Kraton Kaibon Kec. Kasemen Kota Serang.
2. Makam
Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara,
Sultan
Pangeran Aspati/Mulyasmara adalah salah seorang tokoh agama islam di Banten
yang diperkirakan berasal dari Masyarakat Baduy yang masuk islam dan
mengabdikan dirinya kepada Kesultanan Banten. Terletak di Desa Kasunyatan Kec.
Kasemen Kota Serang.
3. Makam
Pangeran Jaga Laut
Adalah
Putera Sultan Banten dari isteri yang lain (bukan Nyi Ratu Ayu Kirana). Beliau
merupakan salah satu Ulama Besar Banten, yang menyebarkan islam di kawasan
pesisir utara Banten. Terletak di Desa Kronjo.
4. Penjiarahan
Gunung Santri
Makam
Syekh Muhamad Sholeh bin Abdurohman atau lebih dikenal dengan penjiarahan
Gunung Santri terletak di atas Puncak Gunung Santri di Kec. Bojonegara Kab.
Serang, terletak disebelah Barat Laut Daerah Pantai Utara, 25 Km dari Kota
Serang atau sekitar 7 Km dari Kota Cilegon. Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri
dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif
Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari
Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh
diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah
lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama
hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu
Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai
ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di
Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang
terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang bermunajat kepada Allah
SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak
untuk kembali ke Cirebon.
Karena
kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah,
akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi
pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan
pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah
si derup yang berada di blok Beji.
Setelah
selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh
pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya
sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh
Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini
didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada
santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus
untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.
Beliau
Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat
untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal
sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar
yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh
wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.
5. Makam
Arya Wangsakara
Sumedang/Lengkong
Santri, Desa Pagedangan Kec. Curug. Nama Tokoh utama yang dimakamkan di Komplek
makam ini adalah Raden Arya Wangsakara bergelar Pangeran Wiraraja II atau terkenal
dengan julukan Imam haji Wangsaraja. Ayahnya bernama Pangeran Wiraraja I atau
bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang. Ibunya bernama Putri Dewi
Cipta, anak Raden Kidang Palakaran Cucu Pucuk Umum dari Banten. Berdasarkan
silsilah tersebut, Aria Wangsakara berasal dari Sumedang dan Cirebon, sementara
pihak Ibu berasal dari Banten. RA Wangsakara juga
seorang ulama, mendirikan kampung ini
sebagai basis syiar Islam dengan santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.
sebagai basis syiar Islam dengan santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.
Sejarah
Banten
Banten
pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan Kota Pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan Masyarakat yang terbuka dan Makmur. Banten juga merupakan bagian
dari Kerajaan tarumanagara. Salah satu Prasasti peninggalan Kerajaan
Tarumanagara adalah Prasasti Cidang Hiyang atau Prasasti Lebak, yang ditemukan
di Kampung Lebak ditepi Cidang Hiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti
ini baru ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua baris kalimat berbentuk puisi
dengan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi Prasasti tersebut mengagungkan
keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat
serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung
Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten
menjadi salah satu Pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber
Portugis tersebut, Banten adalah salah satu Pelabuhan Kerajaan itu selain
Pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (tangerang), Kalapa dan Cimanuk.
Sekilas perjalanan
keturunan Kesultanan Banten
Menurut sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat),
Prabhu Siliwangi ini menikahi seorang puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga
Caruban bernama Rara Subanglarang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa
tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Krawang, dengan syarat menikah
secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan di
dudukkan di Keraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan di perkenankan
tetap melakukan sembahyang lima waktu. Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang
dari Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga orang keturunan, ialah : Pangeran
Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian
Santang. Menurut sejarah Cirebon, salah
seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran ( dari
pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana
beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing
bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang
semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran
penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon,
Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan
sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh
tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya
Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh
dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana
dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik
Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Pada
tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan
Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah
sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, seorang
kemenakan dari putera adiknya, Nyai Rara Santang. Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran
Menurut
sejarah Banten, Putera Prabhu Siliwangi Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari
kentring Manik Mayang Sunda, yang merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal.
Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan
Dipati pesisir Banten. Sang Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya
Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki
usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, Syarif Hidayatullah menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu
bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten
I. Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga di gelari Gunungsepuh. Kasultanan
Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya kerajaan-kerajaan yang tersisa
kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal hubungan wangsa Kediri di
Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram Ngayogyakarta. Bahkan dari
penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten Darussalam memiliki 4 propinsi
di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI
Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat. Dua propinsi adalah Daerah Istimewa, dan salah
satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI Jakarta.
Sultan
Maulana Hasanuddin menikah dengan 2 orang isteri. Isteri pertamanya ialah
puteri Sultan Demak III, Trenggono. Dari pernikahan dengan isteri pertama
berputera sulung Maulana Yusuf. Dan putera kedua di angkat menjadi Dipati
Jepara.
Dengan
pernikahan dari isteri kedua, berketurunan puteri. Nantinya puteri Banten ini
yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh Yusuf dari kerajaan Tallo menikah
dengan puteri Banten ( adik)
saudara Sultan Banten (II), Maulana
Yusuf. Keturunannya nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin, ayam
jantan dari timur. Yang pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika
Selatan. Atau juga di sebut Cape oleh lidah barat.
Setelah
Maulana Hasanuddin mangkat, putera sulungnya Maulana Yusuf di angkat menjadi
Sultan Banten ke-2. Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk
meluaskan wilayah kasultanan Banten. Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk
menguasai kedaton terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi
perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa
berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana
Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara
menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena
dibantu oleh para ulama.
Puncak
kejayaan
Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai
oleh kesultanan Banten.
Masa
kekuasaan Sultan Haji
Pada
jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor
Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus
1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Penghapusan
kesultanan
Kesultanan
Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu,
Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas
Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh
Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Sultan
Ageng Tirtayasa
Sultan
Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad
yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar
Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang
bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia,
ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama
Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun
Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Riwayat
Perjuangan :
Sultan
Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan
perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian
Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan
terbuka.
Saat
itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam
terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang
keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat
sultan.
Ketika
terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya,
Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan
Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di
Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar
pemimpin Kesultanan Banten
Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
Maulana Yusuf 1570 - 1580
Maulana Muhammad 1585 - 1590
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 -
1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid,
Syarif Makkah saat itu.)
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin
(1750-1752)
Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Aliyuddin II (1803-1808)
Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
Sumber :
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/masjid-agung-banten-2
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/makam-pangeran-arya-mandalika
http://bantenculturetourism.com/?p=1047
http://bantenculturetourism.com/?p=1104
https://www.academia.edu/5141627/Pola_Kampung_Lengkong_Ulama_Kekhasan_yang_Sudah_Lama_Ingin_Didengar
https://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/
http://taganabanten-info.blogspot.in/2009/10/sejarah-kesultanan-banten.html
https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/ekspansi-sultan-banten-maulana-hasanuddin/
Filosofi Jawa seputar Bibit – Bobot – Bebet
Saya
ingin mengupas sedikit filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari
jodoh atau pasangan hidup. Bobot- bibit -bebet adalah filosofi Jawa yang berkaitan
dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk
memperoleh gambaran tentang kriteria calon jodoh versi Jawa. Atau paling
tidak menjadi alat kalibrasi atas
kriteria yang selama ini sudah dikantongi oleh masing-masing para pencari jodoh
dalam rangka uji proper and test calon atau sosok yang akan diincar.
Berkenaan
dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati , meski tidak terlalu
selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo)
ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam
kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Hal
ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian
terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan
berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak
buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata
pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah
memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”
Perlu
diketahui, filosofi Jawa mengatakan bahwa ada lima perkara dimana manusia itu
tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib perjalanan hidupnya; siji
pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib),
lima bandha (rizki).
Fatwa
leluhur tersebut bermaksud agar orangtua melaksanakan pemilihan yang seksama
akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman
hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih – pilih kasih,
tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak
manusia. Seperti kita ketahui bahwa Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada
dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk
sosial atau zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi
dan komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa. Disinilah
letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis dalam
duka maupun duka. Falsafah Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET dapat menjadi alternatif
bijak untuk menjawab konsep dalam The
Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan menarik getaran
jiwa yang sama”.
Kriteria dalam menentukan jodoh yang dimaksud
yaitu :
BOBOT
adalah kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman
agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini
mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut
kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua
terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu
membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah,
perlindungan dan lain-lain berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran
terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu
ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan tega bila putri
kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang harus menjalani
hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang tak kenal sayang?
Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan,
kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar
Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi; (1) Jangkeping Warni
(lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik.
Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten; (2) Rahayu ing Mana
(baik hati) bahasa kerennya “inner beauty”. Termasuk kategori ini adalah
kepahaman agama sang menantu; (3) Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama);
(4) Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk
tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.
BIBIT
adalah asal usul/keturunan. Di sini kita diajarkan untuk konsen terhadap
asal-usul calon menantu. Jangan sampai memilih menantu bagai memilih kucing dalam
karung, yang asal-usulnya tidak jelas, keluarganya juga remang-remang,
pekerjaannya cuma begadang di jalanan. Namun, bukan berarti bahwa kita harus
mencari menantu keturunan “darah biru”, tetapi setidaknya calon menantunya punya
latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
Menurut
teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya,
bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang
tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak
melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau
kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan
tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai
contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat
alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan
generasi sebelumnya.
Jadi,
filosofi jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab
menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi
salah satu alternative yang bijak dalam “laku babad” untuk menjaga dan
melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap
kesehatan mental – spiritual generasi bangsa selanjutnya.
BEBET
merupakan status sosial (harkat, martabat, prestige). Filosofi Jawa
memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet ini memang penting tapi tidak
terlalu penting. Dalam filosofi Jawa mengatakan, “Aja Ketungkul Marang
Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung
oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan
pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa
status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Itulah filosofi Jawa
tentang bobot, bibit, bebet.
Oleh
karena itu , untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri
oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari benih (bibit)
yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat.
Fatwa
itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata – mata memandang
lahiriah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang
hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta bendadapat melupakan tujuan
mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat,
dan sebagainya.
Sumber
:
https://beritanuansa.wordpress.com/2013/10/24/memahami-kriteria-bobot-bibit-bebet-dalam-mencari-jodoh/
http://karatonsurakarta.blogspot.in/2009/09/bibit-bobot-bebet.html
http://kbbi.web.id/bibit
http://kbbi.web.id/bobot
http://kbbi.web.id/bebet
http://biologimediacentre.com/gregor-mendel-peletak-dasar-konsep-genetika/
http://www.smakhadijah.com/?module=detailtulisan&id=46&lang=id
https://rainiyrainbow.wordpress.com/2013/04/10/the-most-important-in-our-life/
Makam Keramat
Naturalisme Penyebaran Islam dan Makam Keramat Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir
Ketika
mengamati peta pesisir utara Kabupaten Tangerang, Anda dapat menjumpai pulau
unik berbentuk seperti cangkir. Sesuai bentuknya, pulau seluas 4,5 hektar
tersebut dinamai Pulau Cangkir. Pulau Cangkir merupakan salah satu destinasi
wisata tepatnya wisata ziarah karena di dalamnya terdapat makam salah seornga
ulama besar Banten.
Pulau
Cangkir dapat dikunjungi dengan bus jurusan Kali Deres – Kronjo dari Jakarta.
Bila ingin lebih praktis, Anda dapat menggunakan kendaraan pribadi. Dari
Jakarta ikuti Tol Jakarta-Merak sampai Kabupaten Tangerang. Setelah kurang
lebih 20 menit Anda akan menjumpai Jalan Pasar Kemis/Siliwangi. Ikuti jalan
tersebut hingga tiba di Jalan Raya Cadas – Daon dan belok kiri pada tikungan
pertama. Setelah kira-kira 10 menit perjalanan Anda akan menjumpai sebuah
persimpangan. Pilih tikungan ke kanan untuk menuju Pulau Cangkir.
Secara
administratif, Pulau Cangkir terlatak di Desa Kronjo, Kecamatan Kronjo,
Kabupaten Tangerang. Sebuah pulau kecil yang kini terhubung dengan daratan
kronjo Tangerang. Pulau ini dahulu terpisah dari pulau utamanya. Tetapi kini
Pulau Cangkir sudah tampak menyatu dengan main land-nya, ini karena ada upaya
swadaya masyarakat sekitar dan pengelola situs untuk membuat jalan penghubung
dengan menggunakan urugan tanah pada tahun 1995 lalu untuk memudahkan peziarah
memasuki pulau tersebut. Sebagai obyek wisata pantai, ”Pulau Cangkir merupakan
obyek wisata ziarah karena di pulau ini terdapat makam Pangeran Jaga Lautan,
yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai wilayah di Nusantara ini, dengan
berbagai tujuan masing- masing.” kata Muzawir itu atau yang biasa dipanggil
Ust. Juweni bercerita tentang asal muasal pulau tersebut, dan keberadaan sang
Pangeran.
“Beliau
sengaja ditempatkan Sultan Maulana Hasanuddin di daerah pesisir Kronjo yang
pada masa itu menjadi jalur transportasi perdagangan antara Banten-Tirtayasa,
Kronjo, Mauk, Cisadane-dan Jayakarta (sekarang menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta
. Dahulu, pulau ini terpisah dari daratan. Untuk mencapai pulau ini, saya harus
menggunakan sampan. Baru beberapa tahun ini kemudian dibuatkan daratan untuk
menyambungkan pulau ini dengan daerah Kronjo,” ujar Ust. Juweni, bak pemandu
wisata.
Mendengar
kisah sang pangeran, “Mengapa makam Syekh Jaga Lautan dikeramatkan?” Mungkinkah
mereka ini awalnya adalah kepala pelabuhan, yang kebetulan punya keahlian
agama, dan mengajarkannya kepada penduduk sekitar.
Saya urai lagi cerita tentang penyebaran Islam di daerah pesisir yang kerap saya
baca, atau saya dengar. Embah Priok, konon hadir di Tanjung Priok pada abad ke
17 dua abad setelah penguasaan Banten dari Wilayah Kerajaan Sunda Padjajaran
oleh Sultan Maulana Yusuf. Saat itu Batavia berada dalam genggaman Kasultanan
Banten. Sementara Pangeran Cangkir yang berjuluk Pangeran Jaga Lautan, konon
mendiami pulau yang luasnya hanya sepetak sawah itu, atas perintah Sultan Mauna
Hasanuddin Banten. Dan Syekh Jamaludin, adalah utusan Sultan Banten, yang juga
dikenal sebagai pejuang perlawanan terhadap Portugis.
Kesamaan
pola yang terlihat dari penguasaan pelabuhan-pelabuhan tersebut oleh para tokoh
–kemungkinan ulama – yang kemudian juga dikeramatkan itu. Bahwa lautan harus
dijaga secara seksama. Para tokoh lampau itu sadar benar pentingnya kelautan
bagi Nusantara. Bahkan bisa jadi mereka di tempatkan di berbagai pulau kecil
itu, bersama beberapa prajurit. Saat itu juga mungkin ada semacam kesepakatan
atau konsensus dari para ulama dan Sultan, tentang pentingnya kekuatan maritim
bagi kelangsungan penyebaran Islam.
Beberapa
tahun lalu, ditemukan kerangka Gajah dan beberapa pernak-pernik seperti piring
hiasan yang berasal dari Cina di desa ketapang, yang terletak di selatan Pulau
Cangkir, menguatkan asumsi tersebut. Berbeda dengan pemerintahan Republik
Indonesia yang abai terhadap hal itu. Dalam hal ini, kita patut berterimakasih
kepada negara Jiran, yang turut
menyadarkan pentingnya kekuatan maritim bagi NKRI. Kita juga patut
berterimakasih pada Gus Dur, yang sejak lama meneriakkan hal itu, terlebih di
era pemerintahannya yang singkat, Dia meletakkan dasar-dasar kemaritiman RI.
Secara
geografis, Pulau Cangkir merupakan pulau terdekat dengan daratan. Terletak di
sebelah barat Desa Kronjo. Meski berada hampir di tengah laut, pulau itu masih
terlihat kokoh dari jauh. Sementara daratan Kronjo sendiri mengalami abrasi di
berbagai sisi. Jalan menuju ke pulau kecil itu juga cukup terjal. “Padahal ini
termasuk daerah wisata di Tangerang,” kata Ust. Juweni. Bahkan mobil pribadi
yang “ceper” tidak dapat masuk sampai kepulau Cangkir tersebut karena jalannya
yang dipenuhi lubang yang dalam disana sini. Hal ini membuat kami sangat
prihatin. Kawasan yang begitu indah tapi kurang mendapat perhatian dari
pemerintah setempat.
Tak
jauh dari Pulau Cangkir terdapat Pulau Laki. Letaknya di sebelah barat Pulau
Cangkir. Konon Pulau Laki merupakan Gudang rempah-rempah milik VOC. Di sana,
juga konon, terdapat beberapa gedung bekas peninggalan VOC. “Ada Night Club,
atau semacam Bar nya juga loh, vila dan gudang. Tapi sekarang sudah kosong
semua. Tak ada penduduk yang mau mendiami pulau itu,” ujarnya.
Sekilas Sejarah Sultan Maulana
Hasanuddin
Beliau
dilahirkan di Cirebon pada tahun 1479 M. Beliau adalah anak kedua perkawinan
antara Syarief Hidayatullah dengan Nyi Kawung Putri Ki Gendheng Anten. Kemudian
pada tahun 1526 M, pangeran Hasanuddin menikah dengan putri mahkota Sultan
Trenggana (Nyi Ratu Ayu Kiran), setelah menikah beliau dinobatkan menjadi
Sultan Banten pertama oleh Sultan Trenggana (Demak III) Pada tahun 1552 M
setelah beliau berusia 73 tahun. Pada tahun 1570 beliau wafat di Banten dan
jenazahnya dimakamkan disamping masjid Banten dalam usia 91 tahun (1479-1570).
·
Silsilah Waliyullah Pangeran Jaga Lautan
Pulau Cangkir :
Maulana
Hasanuddin menikah dengan Nyi Ayu Kirana mempunyai 3 orang anak
yaitu :
1. Ratu
Fatima
2. Pangeran
Yusuf
3. Pangeran
Arya Jepara
Maulana
Hasanuddin dengan Ratu Indra Pura, mempunyai 1 orang anak yaitu :
1. Pangeran
Sabrang Wetan
Maulana
Hasanuddin dengan Putri Demak, mempunyai 4 orang anak yaitu :
1. Pangeran
Suniraras (Tanara)
2. Pangeran
Padjajaran.
3. Pangeran
Pringgalaya.
4. Ratu
Ayu Kamudarage.
1. Pangeran
Jaga Lautan Pulau Cangkir Kronjo.
2. Ratu
Keben.
3. Ratu
Terpenter.
4. Ratu
Wetan.
5. Ratu
Biru.
6. Ratu
Ayu Arsanengah.
7. Pangeran
Padjajaran Wadho.
8. Tumenggung
Walatikta.
Silsilah
ini sudah diakui dan dikukuhkan oleh para Nasab (keturunan) Waliyullah Pangeran
Jaga Lautan Pulau Cangkir.
Peninggalan
Sejarah Pulau Cangkir
Disekitar
makam keramat waliyullah Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir terdapat beberapa
peninggalan sejarah yang sampai saat ini masih dijaga kelestariannya oleh warga
sekitar. Salah satu diantaranya adalah ”Gentong Air Manakib Syeikh Abdul Qodir
Jailani”. Karomah dari air gentong ini adalah meskipun berada ditengah laut
tapi airnya tidak terasa asin sama sekali seperti air laut yang ada pada
umumnya. Dan air ini juga tidak pernah surut meskipun tiap hari diambil dan
digunakan baik oleh warga sekitar maupun para peziarah yang setiap harinya
datang kepulau Cangkir tersebut. Dan air Gentong ini dipercaya memiliki banyak manfaat. Ada yang
menggunakannya sebagai obat penyembuh berbagai penyakit dan ada juga yang
menggunakannya untuk cuci muka agar awet muda. Meskipun masih mitos, tapi warga
setempat dan para peziarah mempercayai hal tersebut.
Para
peziarah juga percaya jika kita berziarah dan mengirimkan doa kepada pangeran
Jaga Lautan Pulau Cangkir, maka semua permintaannya insya Allah akan
terkabulkan atas izin Allah.”Tapi kalau kita salah niat yang ada malah bisa
membuat kita menjadi musyrik.” ujar Ust. Juweni.
Makam Keramat Pangeran Jaga Lautan
Pulau Cangkir
Di dalam Pulau Cangkir terdapat
banyak makam tetapi hanya satu yang di kramatkan oleh warga sekitar dan juga
para peziarah.. Makam itu adalah makam Syeck Waliyudin yang sering di sebut
dengan Pangeran Jaga Laut. Yang pada masanya beliu datang ke Pulau Cangkir
untuk menyebarkan agama Islam didaerah tersebut.
Karena
di kramatkan seringkali Pulau Cangkir di padati oleh peziarah yang sengaja
untuk mendoakan Pangeran Jaga Laut. Tidak hanya hari-hari biasa tetapi
hari-hari besar seperti awal bulan Muharam peziarah sengaja datang ke makam
tersebut.
Pantai Pulau Cangkir
Bau
amis ikan yang menyengat tidak mematahkan semangat ku untuk menuju ke Pulau
Cangkir, karena setelah kami sampai disana kami diberikan suasana pemandangan
yang indah, terbantangnya lautan, hembusan angin yang ringan, dan suara deburan
ombak, yang berirama yang membuat kami tetap lebih bersemangat. Pulau Cangkir
merupakan salah satu dektinasi bahari di
Kabupaten Tangerang. Pulau Cangkir adalah pulau yang di kelilingi oleh pasir
putih dan hamparan pantai yang landai. Karena letaknya yang berada di tengah
laut, para pengunjung yang datang tidak hanya sengaja berziarah kemakam
Pangeran Jaga Laut saja, tapi juga datang untuk berenang, memancing di sebuah
tambak ikan, dan disana juga di sediakan sarana penyewaan perahu untuk berlayar
ke pulau Seribu.
Letak
Pulau Cangkir yang berada di tengah laut, warga sekitar yang tinggal di sana
sebagaian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Itu terlihat ketika kita
dalam perjalanan menuju ke Pulau Cangkir, di sekeliling kami banyak
perahu-perahu yang sedang berlayar atau pun parkir dan juga tambak-tambak yang
membentang. Karena letaknya yang di laut, Pulau Cangkir terancam abrasi akan
tetapi untuk saat ini, sekitaran pantai Pulau Cangkir telah dilakukan pemabangunan batas pesisir pantai
dari beton.
Sumber :
Narasumber :
1. Nama : Ust. Juweni
2. TTL : Tangerang, 6 Juni 1956
3. Alamat : Kronjo, Kontang
4. Pekerjaan : Koordinator Muzawwir
Daftar Pustaka
– Muzawwir
–
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/11/09/pulau-cangkir-pulau-laki-cerita-tentang-kemaritiman-banten/
– Tempat
wisata Pulau Cangkir
– http://shadambgt.wordpress.com/2010/04/23/observasi-abrasi-pantai-pulau-cangkir-dan-pantai-utara-kab-tangerang-sebagai-dampak-pembangunan-wisata-bahari-dan-pembukaan-tambak/
– http://aci.detik.com/read/2010/08/18/134553/1422587/962/pantai-pulau-cangkir
– http://megapolitan.kompas.com/read/2010/12/07/1729232/Pulau.Cangkir.Dipadati.Peziarah
–
bantenculturetourism.com
_ http://jakarta.panduanwisata.id/beyond-jakarta/tangerang/wisata-ziarah-ke-pulau-cangkir/
_ http://pulaucangkirindah.blogspot.com/p/pangeran-jaga-lautan.html