- Back to Home »
- Filosofi Jawa seputar Bibit – Bobot – Bebet
Posted by : Bintang Senja
Minggu, 25 Januari 2015
Saya
ingin mengupas sedikit filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari
jodoh atau pasangan hidup. Bobot- bibit -bebet adalah filosofi Jawa yang berkaitan
dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk
memperoleh gambaran tentang kriteria calon jodoh versi Jawa. Atau paling
tidak menjadi alat kalibrasi atas
kriteria yang selama ini sudah dikantongi oleh masing-masing para pencari jodoh
dalam rangka uji proper and test calon atau sosok yang akan diincar.
Berkenaan
dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati , meski tidak terlalu
selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo)
ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam
kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Hal
ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian
terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan
berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak
buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata
pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah
memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”
Perlu
diketahui, filosofi Jawa mengatakan bahwa ada lima perkara dimana manusia itu
tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib perjalanan hidupnya; siji
pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib),
lima bandha (rizki).
Fatwa
leluhur tersebut bermaksud agar orangtua melaksanakan pemilihan yang seksama
akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman
hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih – pilih kasih,
tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak
manusia. Seperti kita ketahui bahwa Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada
dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk
sosial atau zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi
dan komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa. Disinilah
letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis dalam
duka maupun duka. Falsafah Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET dapat menjadi alternatif
bijak untuk menjawab konsep dalam The
Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan menarik getaran
jiwa yang sama”.
Kriteria dalam menentukan jodoh yang dimaksud
yaitu :
BOBOT
adalah kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman
agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini
mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut
kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua
terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu
membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah,
perlindungan dan lain-lain berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran
terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu
ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan tega bila putri
kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang harus menjalani
hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang tak kenal sayang?
Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan,
kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar
Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi; (1) Jangkeping Warni
(lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik.
Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten; (2) Rahayu ing Mana
(baik hati) bahasa kerennya “inner beauty”. Termasuk kategori ini adalah
kepahaman agama sang menantu; (3) Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama);
(4) Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk
tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.
BIBIT
adalah asal usul/keturunan. Di sini kita diajarkan untuk konsen terhadap
asal-usul calon menantu. Jangan sampai memilih menantu bagai memilih kucing dalam
karung, yang asal-usulnya tidak jelas, keluarganya juga remang-remang,
pekerjaannya cuma begadang di jalanan. Namun, bukan berarti bahwa kita harus
mencari menantu keturunan “darah biru”, tetapi setidaknya calon menantunya punya
latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
Menurut
teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya,
bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang
tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak
melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau
kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan
tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai
contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat
alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan
generasi sebelumnya.
Jadi,
filosofi jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab
menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi
salah satu alternative yang bijak dalam “laku babad” untuk menjaga dan
melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap
kesehatan mental – spiritual generasi bangsa selanjutnya.
BEBET
merupakan status sosial (harkat, martabat, prestige). Filosofi Jawa
memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet ini memang penting tapi tidak
terlalu penting. Dalam filosofi Jawa mengatakan, “Aja Ketungkul Marang
Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung
oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan
pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa
status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Itulah filosofi Jawa
tentang bobot, bibit, bebet.
Oleh
karena itu , untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri
oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari benih (bibit)
yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat.
Fatwa
itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata – mata memandang
lahiriah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang
hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta bendadapat melupakan tujuan
mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat,
dan sebagainya.
Sumber
:
https://beritanuansa.wordpress.com/2013/10/24/memahami-kriteria-bobot-bibit-bebet-dalam-mencari-jodoh/
http://karatonsurakarta.blogspot.in/2009/09/bibit-bobot-bebet.html
http://kbbi.web.id/bibit
http://kbbi.web.id/bobot
http://kbbi.web.id/bebet
http://biologimediacentre.com/gregor-mendel-peletak-dasar-konsep-genetika/
http://www.smakhadijah.com/?module=detailtulisan&id=46&lang=id
https://rainiyrainbow.wordpress.com/2013/04/10/the-most-important-in-our-life/
terimakasih Bintang Senja untuk artikelnya. Salam
BalasHapusSangat menginspirasi..
BalasHapus