Posted by : Bintang Senja Minggu, 25 Januari 2015


Rampak bedug pertama kali dimaksudkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug atau ngadulag. Tapi karena merupakan suatu kreasi seni yang genial dan mengundang perhatian penonton, maka seni rampak bedug ini berubah menjadi suatu seni yang layak jual, sama dengan seni-seni musik komersial lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni rampak bedug sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai.
Tahun 1950-an merupakan awal mula diadakannya pentas rampak bedug. Pada waktu itu, di Kecamatan Pandeglang pada khususnya, sudah diadakan pertandingan antar kampung. Sampai tahun 1960 rampak bedug masih merupakan hiburan rakyat, persis ngabedug. Awalnya rampak bedug berdiri di Kecamatan Pandeglang. Kemudian seni ini menyebar ke daerah-daerah sekitarnya hingga ke Kabupaten Serang. Kemudian antara tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Rampak bedug kemudian dikembangkan oleh berempat yaitu : Haji Ilen, Burhata, Juju, dan Rahmat. Dengan demikian Haji Ilen beserta ketiga bersahabat itulah yang dapat dikatakan sebagai tokoh seni Rampak bedug. Dari mereka berempat itulah seni rampak bedug menyebar. Hingga akhir tahun 2002 ini sudah banyak kelompok-kelompok pemain rampak bedug. 
Tempat pembuatan Bedug  terletak di Kampung Parung Sentul Kelurahan Karaton Kecamatan/Kabupaten Pandeglang. Bedug-bedug yang dibuat  rata-rata panjangnya sekitar 1,5 sampai dengan 2 meter, kulitnya dibuat dari kulit sapi atau kerbau.

Rampak Bedug berasal dari kata Rampak atau kompak yang berarti sama, gerakannya sama, pukulannya sama. Asal muasal rampak bedug ini yaitu pada jaman dahulu ketika masyarakat kampung akan menunaikan ibadah sholat, sebelum adzan salah seorang dari mereka memukul-mukulkan media yang bunyinya nyaring dan keras misalnya kentongan sebagai tanda waktu sholat tiba. Namun ternyata bunyi kentongan ini sering disalah tafsirkan oleh masyarakat setempat, karena bunyi kentongan ini bisa juga diartikan adanya maling yang masuk ke kampung. Supaya bisa membedakannya maka diciptakanlah bunyi yang suaranya tidak menyerupai kentongan namun masih nyaring dan keras yaitu bedug. Lambat laun, ternyata masyarakat kampung sangat gemar sekali dengan suara dan pukulan bedug ini, mereka silih berganti menabuh bedug ketika waktu sholat tiba. Melihat hal tersebut akhirnya mereka mencetuskan suatu ide seni menabuh bedug dengan banyak orang yaitu rampak bedug, yang kala itu bernama bedug panjang, bedug yang disusun memanjang yang jumlahnya bisa 20 buah bedug. Jadi “Rampak Bedug” adalah seni bedug dengan menggunakan waditra berupa “banyak” bedug dan ditabuh secara “serempak” sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Waditra adalah seni atau kesenian dari budaya jawa. Waditra rampak bedug terdiri dari : bedug besar, berfungsi sebagai bass yang memberikan rasa puas ketika mengakhiri suatu bait sya’ir dari lagu. Ting tir, terbuat dari batang pohon kelapa, berfungsi sebagai penyelaras irama lagu bernuansa spiritualis (takbiran, shalawatan, marhabaan, dan lain-lain). Anting Caram dan Anting Karam terbuat dari pohon jambu dan dililiti kulit kendang berfungsi sebagai pengiring lagu dan tari. Akan tetapi rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya Banten.

Di masa lalu pemain rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mungkin demikian karena seni rampak bedug mempertunjukkan tarian-tarian yang terlihat indah jika ditampilkan oleh perempuan (selain tentunya laki-laki). Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah sebagai berikut : pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan sekaligus kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug, baik pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari. 

Busana yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian Muslim dan Muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur kedaerahan. Pemain laki-laki misalnya mengenakan pakaian model pesilat lengkap dengan sorban khas Banten, tapi warna-warninya menggambarkan kemoderenan: hijau, ungu, merah, dan lain-lain (bukan hitam atau putih saja). Adapun pemain perempuan mengenakan pakaian khas tari-tari tradisional, tapi bercorak kemoderenan dan relatif religius. Misalnya menggunakan rok panjang bawah lutut dari bahan batik dengan warna dasar kuning dan di dalamnya mengenakan celana panjang warna merah jenis celana panjang pesilat. Di luarnya mengenakan kain merah tanpa dijahit yang bisa dililitkan dan digunakakan untuk semacam tarian selendang. Bajunya tangan panjang yang dikeluarkan dan diikat dengan memakai ikat pinggang besar. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang.
Fungsi Rampak bedug : 1. Nilai Religi, yakni menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para ulama pewaris Nabi. Selain menyemarakan Tarawihan juga sebagai pengiring Takbiran dan Marhabaan. 2. Nilai rekreasi/hiburan. 3. Nilai ekonomis, yakni suatu karya seni yang layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman rampak bedug untuk memeriahkan acara-acara mereka.




Sumber :
http://budayaindonesia13.wordpress.com

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kanvas Alfabet - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -