- Back to Home »
- Kesultanan Banten dari sisi perekonomian
Posted by : Bintang Senja
Selasa, 06 Januari 2015
Kesultanan
Banten salah satu kerajaan maritim di Indonesia, yang mengandalkan perdagangan
dalam memenuhi perekonomiannya. Letak
geografisnya yang strategis menjadikan Kesultanan Banten ini menjadi jalur
perdagangan yang ramai, bukan Nusantara saja cakupannya tapi ke Internasional
juga.
Banten
memiliki pelabuhan niaga internasional di Asia. Transaksi perdagangannya
terjadi pada pagi dan malam hari. Terdapat tiga pasar yaitu pasar karangantu
di timur kota, pasar alun-alun, dan
pasar di Pecinan. Negara atau Bangsa lain yang memasuki wilayah Banten dan
melakukan perdagangan akan dikenakan pajak masuk yang memberikan keuntungan
bagi Kesultanan Banten. Dengan demikian Kesultanan Banten mengalami kemajuan
yang sangat cepat dan dapat memberikan kesejahteraaan bagi rakyatnya. Sumber
perekonomiannya tak hanya dari perdagangan dan perlayaran saja, tetapi juga ada
bercocok tanam di sawah dan kebun. Hal ini menyebabkan Kerajaan Banten memperluas
wilayahnya. Salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Banten adalah Lampung yang
kemudian dijadikan sebagai tempat perkebunan lada. Semua yang dilakukan
Kerajaan Banten bertujuan untuk memajukan kegiatan perekonomian sekaligus
meningkatkan kemakmuran.
Sudah
barang tentu, karena pada saat itu sistem pemerintahan dipusatkan di Masjid
Agung Banten, maka hasilnya pun sebagian dikumpulkan di masjid tersebut, dari
kesemuanya ini, peran Masjid Agung Banten sudah mempunyai tahap yang sangat
penting sekali dalam hal pemberdayaan masyarakat Banten. Keganjilan
menyenafaskan masjid dan ekonomi segera terasa apabila kita memahami bahwa
salah satu sifat masjid yang menojol dalam tanggapan muslim dewasa ini umumnya
adalah kesucian, sedangkan ekonomi demikian duniawinya.
Peranan
masjid dalam bidang ekonomi memang bukan dalam wujud tindakan riil ekonomi,
misalnya dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Peranannya terletak dalam
bidang idiil atau konsep ekonomi, misalnya hubungan modal dan kerja majikan dan
buruh, hutang piutang dan kontrak, jasa kapital dan tenaga, pembagian kekayaan,
cara berjual-beli, ukuran dan takaran kegiatan serta bermacam-macam usaha yang
lain. Dasar dan prinsip-prisnip ekonomi telah digariskan dalam Al-Qur’an dan
Hadis. Tetapi bermacam-macam kegiatan dan wujudnya tidak terdapat di dalamnya.
Kenyataan dan wujud penghidupan selalu terus berubah, seirama dengan perubahan
kebudayaan, karena bidang ekonomi itu adalah bidang utama kebudayaan. Sebab itu
wujud dan kenyataan ekonomi selalu berubah dari zaman ke zaman dan dapat
berbeda dari ruang ke ruang. Ekonomi adalah bagian dari Islam, jelasnya bagian
dari kebudayaan sekalipun ekonomi bersifat duniawi, kehidupan ekonomi muslim
bertaut dengan masjid.
Perekonomian
Kerajaan Banten sudah mengalami kemajuan sejak zaman Sultan Maulana Yusuf dan
Sultan Hasanudin. Puncak kejayaan perekonomian makin berkembang pesat pada masa
pemerintahan Sultan Abulfath’ atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng
Tirtayasa. Hal tersebut karena Sultan Ageng Tirtayasa merupakan pemimpin yang
cerdas, pandai berdiplomatik, dan menguasai bisnis sehingga beliau mampu menarik
perhatian bangsa Eropa dan bangsa lainnya untuk melakukan hubungan dagang
dengan Kerajaan Banten. Negara-negara tersebut antara lain, Turki, Arab, India,
Cina, Spanyol, Portugis, Melayu, Gujarat, dan sebagainya. Hingga pada tanggal
22 Juni 1956 Belanda merasa terpanggil untuk singgah di Banten, dari
persinggahan itulah akhirnya Belanda tertarik untuk menguasai perekonomian
Banten yang merupakan penghasil rempah dan lada. Belanda melakukan monopoli
perdagangan sekaligus memblokade pelabuhan niaga yang dimiliki Banten, hal
tersebut tentunya menimbulkan kesengsaraan rakyat di bidang perekonomian hingga
akhirnya menuntut Sultan Ageng Tirtayasa dan rakyatnya untuk melakukan
perlawanan demi mendapatkan kesejahteraan Banten seperti semula.
Sumber:
en.wikipedia.org
Sejarah Cirebon,
PT. Balai Pustaka.
Titik
Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai
tinjauan aksara dan amanat.
Fernão Mendes
Pinto, Rebecca Catz, (1989), The travels of Mendes Pinto, University of Chicago
Press, ISBN 0-226-66951-3.
Hasan Muarif
Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten, Gramedia Book Pub.
Division, ISBN 979-403-922-5