- Back to Home »
- Asal Usul Banten dan Rentetan Sejarahnya
Posted by : Bintang Senja
Minggu, 25 Januari 2015
Masjid Agung Banten
Masjid
Agung Banten merupakan situs bersejarah yang terletak di Desa Banten lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten. Masjid ini di
bangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Putera Sunan Gunung Jati, sekitar Tahun
1552 - 1570 M. Bangunan masjid Agung Banten merupakan suatu komplek dengan luas
tanah 1,3 ha yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi
tembok timur dan masing-masing terdapat dua buah gapura dibagian utara dan
selatan yang letaknya sejajar. Bangunan masjid menghadap ketimur berdiri diatas
pondasi masif dengan ketingggian satu meter dari halaman. Masjid ini memiliki
halaman yang luas dengan taman yang dihiasi Bunga - bunga Flamboyan. Bangunan
Tiyamah merupakan bangunan tambahan yang letaknya di sebelah selatan masjid.
Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno. Di bangun oleh Hendrick
Lucas Cardeel, seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan oleh sultan
diberi gelar Pangeran Wiraguana.
Bangunan
ruang utama berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 25 x 19 m. Lantai
terbuat dari ubin berukuran 30 x 30 cm, berwarna hijau muda dan dibatasi
dinding pada keempat sisinya. Dinding timur memisahkan ruang utama dengan
serambi timur. Pada dinding ini terdapat empat pintu (dengan lubang angin) yang
merupakan pintu masuk utama. Pintu terletak dengan bidang segi empat dari
dinding yang menonjol berukuran 174 x 98 dengan dua daun pintu dari kayu.
Bagian atas pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran. Lubang angin pada
dinding timur ada dua buah yang mengapit pintu, pintu paling selatan berbentuk
persegi panjang dan di dalamnya terdapat hiasan motif kertas tempel, Dinding
barat tersebut berhiaskan pelipit rata, penyangga, setengah lingkaran dan
pelipit cekung.
Dinding
sisi utara membatasi ruang utama dengan serambi utama dengan sebuah pintu masuk
berbentuk empat persegi panjang ukuran 240 x 125 cm, berdaun pintu dua buah
dari kayu. Jendela pada dinding utara dua buah dengan dua daun jendela
berbentuk segi empat berukuran 180 x 152 cm. Sedangkan dinding selatan hanya
mempunyai satu pintu yang menghubungkan ruang utama dengan pawestren di dekat
sudut barat dinding.
Bangunan
lain yang ada di Masjid Agung Banten di mana diantaranya pada jarak 10 m dari
kolam dibagian timur (depan) masjid terdapat menara berwarna kuning muda dan
tingginya 23 m. Menara Mesjid Agung Banten dibangun oleh Lucas Cardeel, Menurut
K.C Crucg berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten ini sudah ada sebelum
tahun 1569/1570, bahkan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya, ia
berkesimpulan menara ini didirikan pada pertengahan kedua abad XVI yaitu antara
tahun 1560 sampai 1570. Dan dapat dimasuki sampai ke atas melalui 82 buah anak
tangga. Di dalam menara terdapat empat pintu dan bentuknya sama dengan pintu
masuk menara. Bangunan menara terbagi atas tiga bangunan yaitu kaki, tubuh dan
kepala.
Kolam
berada di dalam serambi timur berbentuk persegi panjang terbagi atas empat
kolam kotak yang dipisahkan oleh pematang tembok dan dihubungkan dengan lubang
pada masing-masing pematang. Kolam berukuran 28,1 - 3,10 m dan dalamnya antara
75-100 cm. di sekeliling kolam terdapat tembok setinggi 1,29 m dan tebalnya
32,5 cm. Untuk mencapai kolam di sediakan tangga turun sebanyak tiga anak
tangga dari arah halaman dan lima anak tangga dari serambi timur.
Selain sebagai Obyek Wisata Ziarah, Masjid
Agung Banten juga merupakan Obyek Wisata Pendidikan dan Sejarah. Dengan
mengunjungi Masjid ini, Wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah
Kerajaan Islam di Banten pada Abad ke-16 M, serta melihat keunikan
arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa, Cina dan Eropa.
Di
serambi kiri Masjid ini terdapat Makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan
Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Nashr Abdul Kahar (Sultan
Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhamad,
Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan
Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin,
Ratu Salamah, Ratu Latifah dan Ratu Masmudah.
Makam “Banten” :
1. Makam
Pangeran Arya Mandalika
Pangeran Arya Mandalika adalah Putra Sultan Maulana Yusuf dari Isteri yang lain (bukan Permaisuri Ratu Khadijah). Pangeran Arya Mandalika menjabat sebagai Panglima Perang merangkap Menteri Perlengkapan, terletak di Kampung Kroyo sebelum Kraton Kaibon Kec. Kasemen Kota Serang.
2. Makam
Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara,
Sultan
Pangeran Aspati/Mulyasmara adalah salah seorang tokoh agama islam di Banten
yang diperkirakan berasal dari Masyarakat Baduy yang masuk islam dan
mengabdikan dirinya kepada Kesultanan Banten. Terletak di Desa Kasunyatan Kec.
Kasemen Kota Serang.
3. Makam
Pangeran Jaga Laut
Adalah
Putera Sultan Banten dari isteri yang lain (bukan Nyi Ratu Ayu Kirana). Beliau
merupakan salah satu Ulama Besar Banten, yang menyebarkan islam di kawasan
pesisir utara Banten. Terletak di Desa Kronjo.
4. Penjiarahan
Gunung Santri
Makam
Syekh Muhamad Sholeh bin Abdurohman atau lebih dikenal dengan penjiarahan
Gunung Santri terletak di atas Puncak Gunung Santri di Kec. Bojonegara Kab.
Serang, terletak disebelah Barat Laut Daerah Pantai Utara, 25 Km dari Kota
Serang atau sekitar 7 Km dari Kota Cilegon. Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri
dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif
Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari
Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh
diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah
lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama
hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu
Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai
ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di
Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang
terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang bermunajat kepada Allah
SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak
untuk kembali ke Cirebon.
Karena
kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah,
akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi
pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan
pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah
si derup yang berada di blok Beji.
Setelah
selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh
pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya
sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh
Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini
didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada
santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus
untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.
Beliau
Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat
untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal
sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar
yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh
wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.
5. Makam
Arya Wangsakara
Sumedang/Lengkong
Santri, Desa Pagedangan Kec. Curug. Nama Tokoh utama yang dimakamkan di Komplek
makam ini adalah Raden Arya Wangsakara bergelar Pangeran Wiraraja II atau terkenal
dengan julukan Imam haji Wangsaraja. Ayahnya bernama Pangeran Wiraraja I atau
bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang. Ibunya bernama Putri Dewi
Cipta, anak Raden Kidang Palakaran Cucu Pucuk Umum dari Banten. Berdasarkan
silsilah tersebut, Aria Wangsakara berasal dari Sumedang dan Cirebon, sementara
pihak Ibu berasal dari Banten. RA Wangsakara juga
seorang ulama, mendirikan kampung ini
sebagai basis syiar Islam dengan santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.
sebagai basis syiar Islam dengan santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.
Sejarah
Banten
Banten
pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan Kota Pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan Masyarakat yang terbuka dan Makmur. Banten juga merupakan bagian
dari Kerajaan tarumanagara. Salah satu Prasasti peninggalan Kerajaan
Tarumanagara adalah Prasasti Cidang Hiyang atau Prasasti Lebak, yang ditemukan
di Kampung Lebak ditepi Cidang Hiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti
ini baru ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua baris kalimat berbentuk puisi
dengan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi Prasasti tersebut mengagungkan
keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat
serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung
Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten
menjadi salah satu Pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber
Portugis tersebut, Banten adalah salah satu Pelabuhan Kerajaan itu selain
Pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (tangerang), Kalapa dan Cimanuk.
Sekilas perjalanan
keturunan Kesultanan Banten
Menurut sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat),
Prabhu Siliwangi ini menikahi seorang puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga
Caruban bernama Rara Subanglarang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa
tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Krawang, dengan syarat menikah
secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan di
dudukkan di Keraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan di perkenankan
tetap melakukan sembahyang lima waktu. Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang
dari Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga orang keturunan, ialah : Pangeran
Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian
Santang. Menurut sejarah Cirebon, salah
seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran ( dari
pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana
beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing
bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang
semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran
penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon,
Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan
sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh
tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya
Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh
dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana
dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik
Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Pada
tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan
Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah
sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, seorang
kemenakan dari putera adiknya, Nyai Rara Santang. Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran
Menurut
sejarah Banten, Putera Prabhu Siliwangi Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari
kentring Manik Mayang Sunda, yang merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal.
Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan
Dipati pesisir Banten. Sang Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya
Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki
usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, Syarif Hidayatullah menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu
bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten
I. Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga di gelari Gunungsepuh. Kasultanan
Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya kerajaan-kerajaan yang tersisa
kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal hubungan wangsa Kediri di
Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram Ngayogyakarta. Bahkan dari
penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten Darussalam memiliki 4 propinsi
di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI
Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat. Dua propinsi adalah Daerah Istimewa, dan salah
satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI Jakarta.
Sultan
Maulana Hasanuddin menikah dengan 2 orang isteri. Isteri pertamanya ialah
puteri Sultan Demak III, Trenggono. Dari pernikahan dengan isteri pertama
berputera sulung Maulana Yusuf. Dan putera kedua di angkat menjadi Dipati
Jepara.
Dengan
pernikahan dari isteri kedua, berketurunan puteri. Nantinya puteri Banten ini
yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh Yusuf dari kerajaan Tallo menikah
dengan puteri Banten ( adik)
saudara Sultan Banten (II), Maulana
Yusuf. Keturunannya nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin, ayam
jantan dari timur. Yang pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika
Selatan. Atau juga di sebut Cape oleh lidah barat.
Setelah
Maulana Hasanuddin mangkat, putera sulungnya Maulana Yusuf di angkat menjadi
Sultan Banten ke-2. Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk
meluaskan wilayah kasultanan Banten. Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk
menguasai kedaton terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi
perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa
berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana
Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara
menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena
dibantu oleh para ulama.
Puncak
kejayaan
Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai
oleh kesultanan Banten.
Masa
kekuasaan Sultan Haji
Pada
jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor
Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus
1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Penghapusan
kesultanan
Kesultanan
Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu,
Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas
Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh
Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Sultan
Ageng Tirtayasa
Sultan
Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad
yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar
Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang
bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia,
ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama
Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun
Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Riwayat
Perjuangan :
Sultan
Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan
perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian
Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan
terbuka.
Saat
itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam
terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang
keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat
sultan.
Ketika
terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya,
Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan
Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di
Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar
pemimpin Kesultanan Banten
Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
Maulana Yusuf 1570 - 1580
Maulana Muhammad 1585 - 1590
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 -
1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid,
Syarif Makkah saat itu.)
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin
(1750-1752)
Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Aliyuddin II (1803-1808)
Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
Sumber :
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/masjid-agung-banten-2
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/makam-pangeran-arya-mandalika
http://bantenculturetourism.com/?p=1047
http://bantenculturetourism.com/?p=1104
https://www.academia.edu/5141627/Pola_Kampung_Lengkong_Ulama_Kekhasan_yang_Sudah_Lama_Ingin_Didengar
https://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/
http://taganabanten-info.blogspot.in/2009/10/sejarah-kesultanan-banten.html
https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/ekspansi-sultan-banten-maulana-hasanuddin/