Archive for 2015

Perjalanan Inspirasi


Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Judul Buku : Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka
Halaman : 172 halaman

Anda tentu tak asing dengan karya yang satu ini. Buku ini merupakan kumpulan dari karya – karya Idrus semenjak kedatangan Jepang tahun 1942 hingga sesudah 17 Agustus 1945. Adanya perbedaan masa membuat karya-karya beliau di dalam buku, dibagi dalam 3 bagian. Tentunya pembagian ini tak hanya sebatas soal waktu. Ada hal lain yang mendasari pembagian karyanya itu.
Bagian pertama yaitu “ Zaman Jepang “, berisi sebuah cerpen yang berjudul Ave Maria dan satu naskah drama yang berjudul Kejahatan Membalas Dendam. Ave Maria menceritakan kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Sedangkan drama kejahatan membalas dendam menceritakan tentang konflik Ishak dengan Pak Orok ( Suksoro ) yang merupakan ayah dari kekasih Ishak. Adapun hal yang membuat kedua karyanya ini dimasukkan dalam satu bagian. Pertama, cerita di bagian ini cenderung pada aliran romantisme dan menawan hati. Kedua, karya-karyanya cenderung berupa konflik-konflik serius. Ketiga, pada bagian ini lebih banyak kosa kata asing yang berasal dari bahasa Belanda yang membuat karyanya cenderung ‘kebarat-baratan”.
Bagian kedua yaitu “ Corat – coret di Bawah Tanah”, semuanya berisi cerpen – cerpen karya beliau. Jelas bahwa beliau jenuh dengan aliran romantismenya. Ia menulis seputar kehidupan masyarakat pada masa pendudukan Jepang dalam kacamata realistis humoristis. Karya – karya beliau di bagian ini yaitu Kota Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam, Sanyo, Fujinkai, Oh…Oh…Oh!, dan Heiho. Secara umum, semua karyanya menceritakan kehidupan pada masa pendudukan Jepang, dengan cara yang lebih menarik dan segar. Berbeda dengan bagian sebelumnya yang cenderung kebarat-baratan dan romantik. Lagi, jika pada bagian “Zaman Jepang” menggunakan bahasa yang halus, tapi di sini bahasanya cenderung bahasa “ pada umumnya “.
Bagian ketiga yaitu “ Sesudah 17 Agustus 1945 “, berisikan cerpen – cerpen seperti halnya “ Corat – coret di Bawah Tanah “. Cerpen – cerpennya yaitu Kisah Sebuah Celana Dalam, Surabaya, dan  Jalan Lain ke Roma. Pada bagian ini, bisa dianalogikan sebagai bagian “ dan lain – lain “ mengingat adanya perbedaan sekalipun bisa dianggap sama. Pada cerpen Kisah Sebuah Celana Dalam, sifatnya lebih humoris meski realistik. Pada cerpen Surabaya cenderung realistic serius. Sedangkan pada cerpen Jalan Lain ke Roma beraliran romantik, humoris, dan realistis.
Adapun keunggulan buku ini. Pertama, buku ini berisi varian karya dengan aliran yang berbeda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, buku ini dibagi dalam 3 bagian. Anda tentu jenuh dengan kumpulan cerpen dengan aliran yang itu – itu saja. Dengan aliran – aliran pada buku ini, akan tak akan jenuh. Pada bagian “ Zaman Jepang “ anda akan disajikan cerita – cerita romantic yang menyentuh. Lalu pada bagian “ Corat – coret di Bawah Tanah “ anda akan disajikan kita kehidupan yang menyentuh. Lalu pada bagian “ Sesudah 17 Agustus 1945 “ anda akan merasakan sesuatu yang berbeda dari 2 bagian terdahulu. Unik, bukan?
Kedua, isi ceritanya yang menarik dan intrik yang unik di setiap ceritanya. Anda juga bosan jika kumpulan cerpen yang anda baca berisi tema cerita yang sama. Dengan intrik – intrik yang unik ini, selain menghibur pembaca, juga menambah wawasan kita mengenai sejarah Indonesia tempo dulu. Apalagi jika anda membaca bagian “ Corat – coret di Bawah Tanah “, yang sarat akan sejarah Indonesia yang tentu tak dijumpai di buku sejarah yang menjadi ciri khas buku ini.
Sekalipun anda memandang konflik yang diangkat dalam buku ini tidak sesuai dengan kehidupan sekarang, namun buku ini masih cukup menarik. Apa benar buku – buku terbitan zaman dulu itu tidak menarik? Tentu tidak! Saya ambil contoh dari Amerika Serikat. Buku karya Mark Twain yang paling terkenal, Tom Sawyer, masih jadi yang menarik di sana. Padahal buku ini dibuat pada masa Civil war , yang tentu sangat lama. Jadi, anggapan itu sebaiknya dibuang sejauh mungkin.
Kelemahan dari buku ini adalah dari sisi bahasa. Kita mafhum bahwa buku ini dibuat sebelum munculnya EYD ( Ejaan Yang Disempurnakan ) dan sebelum munculnya KBBI karya W. J. S. Poerwadarminta. Dari survei yang saya lakukan, membuktikan bahwa alasan orang – orang malas membaca roman – roman dan kumpulan cerpen zaman dulu adalah karena kendala bahasa. Saya menyarankan kepada Balai Pustaka yang telah berpengalaman dalam mencetak karya – karya sastrawan Indonesia, terutama buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, untuk melakukan langkah yang berani untuk menyempurnakan bahasa pada buku tersebut agar mudah dipahami oleh para pembaca. Buku terjemahan saja diterjemahkan agar dapat dipahami, mengapa buku karya sastrawan Indonesia tidak?  Dengan penerjemahan dan penyederhanaan bahasa, buku ini tentukan akan semakin diminati pembaca.
Jika bicara secara keseluruhan, buku ini sangat bagus dan layak untuk dibaca. Selain menghibur, buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma juga sarat sejarah yang dapat menambah wawasan kita, seperti yang telah dikatakan pada alinea sebelumnya. Selain juga anda akan merasakan perjalanan inspirasi dan aliran dari penulisnya dalam buku ini. Bacalah dan rasakan sensasinya!

Sumber Referensi : 
https://www.academia.edu/8492939/Dari_Ave_Maria_ke_Jalan_Lain_ke_Roma_Karya_Idrus

Pesona KH. Muhammad Dimyati (Buya Dimyati Cidahu)




   
 
Beliau bernama lengkap KH. Muhammad Dimyathi bin Muhammad Amin al-Bantani yang biasa dipanggil dengan sebutan “Abuya Dimyati”, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”. KH. Muhammad Dimyati yang biasa dipanggil dengan Buya Dimyati merupakan sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik, beliau lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H bertepatan dengan tahun 1920. Anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Buya Dimyati sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pon-pes Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui  Maulana Hasanuddin, Sultan Banten pertama.

            Masa kecil Abuya dihabiskan di kampung kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut ilmu, Abuya dididik langsung oleh ayahandanya, Syaikh Muhammad Amin bin Dalin. Lalu melanjutkan berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, Kadu Pesing,  Pandeglang, Pelamunan, Plered Cirebon, Purwakarta, Kaliwungu, Jogja, Watucongol, Bendo Pare dan sebagainya sampai usia sudah setengah baya. Di sekitar tahun 1967-1968 M, beliau berangkat mondok lagi bersama putra pertama dan beberapa santri beliau.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
            Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri. Ketika mondok di Watu Congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri, besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar  selama 40 hari abuya tak pernah di tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah. Perlu  kamu ketahui di sini tidak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu pulang saja syarahi kitab-kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji  disini mbah. Kalau begitu kamu harus membantu mengajar dan tidak boleh punya teman.
Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika Abuya bermaksud berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau  menyuruhnya beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan tariqat kepada Abuya. Kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.
 Di pondok Bendo Pare,  Abuya dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.
          Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.
Abuya Dimyati pertama menikah dengan Hj. Ashmah binti Abuya Jasir pada tahun 1948 ketika Abuya Dimyati mondok di Kadupeusing. Pernikahan ini dikaruniai 7 orang anak, yaitu Ahmad Muhtadi, Muhammad Murtadlo, Abul Aziz Fakruddin, Ahmad Muntaqo, Musfiroh, Ahmad Muqatil dan Ahmad Syafi’i (wafat ketika lahir). Pernikahan kedua Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Qamariyyah, Karawang, ketika mondok di Mama Sempur Purwakarta, antara tahun 1951-1953. Pernikahan kedua ini memperoleh dua orang anak yang keduanya meninggal dunia saat masih bayi. Pernikahan ketiga Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Dalalah binti KH Nawawi, ketika mondok di Mbah Dalhar, Watucongol, tahun 1956. Pernikahan ketiga ini dikaruniai enam orang anak, yaitu Ahmad Ajhuri, Qayyimah, Ahmad Mujahid, Ahmad Munfarij, Ahmad Mujtaba, dan Ahmad Muayyad. Pernikahan keempat Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Muthi‘ah, Serang, pada tahun 1970 M. Melalui pernikahan ini Abuya Dimyati dikaruniai seorang anak, Muhammad Thoha yang meninggal dunia ketika lahir. Pernikahan kelima Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Afifah binti H. Marhasan, Pandeglang, pada tahun 1997 dan tidak dikaruniai anak.
Buya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang mendirikan pesantren. Dalam menerapkan tahfiz Qur`an kepada para santrinya, Abuya Dimyati mengharuskan terlebih dahulu belajar kitab salaf secara mendalam sebelum menghafal Al-Qur`an. Menurutnya, ketika seseorang terlebih dahulu menghafal Al-Qur`an sebelum pandai memahami dan mengkaji kitab salaf maka ia tidak akan maksimal mempelajari Al-Qur'an.
            Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali. Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam. Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah sadziliyah yang jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah  Ki Mufassir Padarincang, Abah Ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far Asseqaf pengasuh Majelis Ta’lim Nurul Musthofa, Jakarta dan tentunya putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.
            Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran berbasa- basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majelisnya tak berlistrik. Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah. Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
            Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat pada malam jum’at jam tanggal 07 sya’ban 1423 H. Bertepatan dengan 03 oktober 2003 (7 Sya‘ban 1424 H) dalam usia 78 tahun, setelah bermarhaban baru selesai. Abuya meninggalkan 3 orang istri, 6 orang putra, dan 2 orang putri. Karya Abuya yang telah dicetak di Pesantren Raudatul ‘Ulum Cidahu adalah Minhaj al-Istifa fi Khashaish Hizb an-Nashr wa Hizb al-Ikhfa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab 1379/1959.  Al-Hadiyyah al-Jalaliyyah fi ath-Thariqah asy-Syaziliyyah tentang tarekat Syadziliyyah, ashl al-Qadr fi Khashaish Fadlail Ahl Badr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr, Rasm al-Qashr fi Khashaish Hizb an-Nashr isinya yaitu menguraikan tentang hizib nasr, Bahjah al-Qalaid fi ‘Ilm al-‘Aqaid, Nur al-Hidayah fi Ba‘d ash-Shalawat ‘ala Khair al-Bariyyah, dan Majmu‘ah al-Khutab. Selain karya tersebut, sebuah karya berjudul Madad al-Hakam al-Matin musnah dalam musibah kebakaran kediamannya pada tahun 1987.

Karomah Abuya Dimyati
1.) Mengkhatamkan Kitab Tafsir Ibnu Jarir Dalam Waktu Singkat
Di tahun 1999, dunia dibuat geger, seorang kyai membacakan kitab Tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya, pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah khatam 4 kali membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).
2.) Berziarah Di Baghdad Setiap Malam Jum’at
Salah satu cerita karomah lain adalah, ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Makam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad, Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, dia dapat menziarahi sampai ke Makam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Ketika sampai di makam tersebut, maka penjaga makam bertanya padanya, "Anda dari mana?" Si kyai menjawab, "Dari Indonesia." Maka, penjaganya pun langsung bilang, "Oh, di sini pada setiap malam Jum'at ada seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah hanya duduk saja di depan makam beberapa waktu, namun peziarah-peziarah lain akan ikut diam demi menghormati beliau, setelah beliau mulai membaca Al-Qur'an, baru para penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri.
Mendengar hal itu, kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terkagum-kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di makam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.
3.) Karomah-Karomah Lain
Cerita-cerita lain tentang karomah Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan; kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat kepada gurunya, KH. Rukyat (Mbah Ru’yat) Kaliwungu Kendal. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia.

Sumber :
Buku Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona langkah di Dua Alam)
Buku Para Penjaga Al-Qur'an, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2011
http://suhaedialvhega.blogspot.com/2012/05/buya-dimyati.html
https://www.facebook.com/KumpulanKaromahSyaikhAbdulQodirJailaniRa/posts/584425301578208
http://penatas.blogspot.in/2011/05/biografi-abuya-dimyati-banten.html
http://pesantrenkaliwungu.blogspot.in/2014/05/kh-dimyati-banten-abuya-dimyati.html


Asal Usul Banten dan Rentetan Sejarahnya


 Masjid Agung Banten           
Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah yang terletak  di Desa Banten lama, Kecamatan Kasemen,  Kota Serang, Propinsi Banten. Masjid ini di bangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Putera Sunan Gunung Jati, sekitar Tahun 1552 - 1570 M. Bangunan masjid Agung Banten merupakan suatu komplek dengan luas tanah 1,3 ha yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi tembok timur dan masing-masing terdapat dua buah gapura dibagian utara dan selatan yang letaknya sejajar. Bangunan masjid menghadap ketimur berdiri diatas pondasi masif dengan ketingggian satu meter dari halaman. Masjid ini memiliki halaman yang luas dengan taman yang dihiasi Bunga - bunga Flamboyan. Bangunan Tiyamah merupakan bangunan tambahan yang letaknya di sebelah selatan masjid. Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno. Di bangun oleh Hendrick Lucas Cardeel, seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan oleh sultan diberi gelar Pangeran Wiraguana.
Bangunan ruang utama berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 25 x 19 m. Lantai terbuat dari ubin berukuran 30 x 30 cm, berwarna hijau muda dan dibatasi dinding pada keempat sisinya. Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur. Pada dinding ini terdapat empat pintu (dengan lubang angin) yang merupakan pintu masuk utama. Pintu terletak dengan bidang segi empat dari dinding yang menonjol berukuran 174 x 98 dengan dua daun pintu dari kayu. Bagian atas pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran. Lubang angin pada dinding timur ada dua buah yang mengapit pintu, pintu paling selatan berbentuk persegi panjang dan di dalamnya terdapat hiasan motif kertas tempel, Dinding barat tersebut berhiaskan pelipit rata, penyangga, setengah lingkaran dan pelipit cekung.
Dinding sisi utara membatasi ruang utama dengan serambi utama dengan sebuah pintu masuk berbentuk empat persegi panjang ukuran 240 x 125 cm, berdaun pintu dua buah dari kayu. Jendela pada dinding utara dua buah dengan dua daun jendela berbentuk segi empat berukuran 180 x 152 cm. Sedangkan dinding selatan hanya mempunyai satu pintu yang menghubungkan ruang utama dengan pawestren di dekat sudut barat dinding.
Bangunan lain yang ada di Masjid Agung Banten di mana diantaranya pada jarak 10 m dari kolam dibagian timur (depan) masjid terdapat menara berwarna kuning muda dan tingginya 23 m. Menara Mesjid Agung Banten dibangun oleh Lucas Cardeel, Menurut K.C Crucg berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten ini sudah ada sebelum tahun 1569/1570, bahkan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya, ia berkesimpulan menara ini didirikan pada pertengahan kedua abad XVI yaitu antara tahun 1560 sampai 1570. Dan dapat dimasuki sampai ke atas melalui 82 buah anak tangga. Di dalam menara terdapat empat pintu dan bentuknya sama dengan pintu masuk menara. Bangunan menara terbagi atas tiga bangunan yaitu kaki, tubuh dan kepala.
Kolam berada di dalam serambi timur berbentuk persegi panjang terbagi atas empat kolam kotak yang dipisahkan oleh pematang tembok dan dihubungkan dengan lubang pada masing-masing pematang. Kolam berukuran 28,1 - 3,10 m dan dalamnya antara 75-100 cm. di sekeliling kolam terdapat tembok setinggi 1,29 m dan tebalnya 32,5 cm. Untuk mencapai kolam di sediakan tangga turun sebanyak tiga anak tangga dari arah halaman dan lima anak tangga dari serambi timur.
 Selain sebagai Obyek Wisata Ziarah, Masjid Agung Banten juga merupakan Obyek Wisata Pendidikan dan Sejarah. Dengan mengunjungi Masjid ini, Wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah Kerajaan Islam di Banten pada Abad ke-16 M, serta melihat keunikan arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa, Cina dan Eropa.
Di serambi kiri Masjid ini terdapat Makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Nashr Abdul Kahar (Sultan Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhamad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah dan Ratu Masmudah.

Makam “Banten” :

1.      Makam Pangeran Arya Mandalika

Pangeran Arya Mandalika adalah Putra Sultan Maulana Yusuf dari Isteri yang lain (bukan Permaisuri Ratu Khadijah). Pangeran Arya Mandalika menjabat sebagai Panglima Perang merangkap Menteri Perlengkapan, terletak di Kampung Kroyo sebelum Kraton Kaibon Kec. Kasemen Kota Serang.

2.      Makam Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara,
Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara adalah salah seorang tokoh agama islam di Banten yang diperkirakan berasal dari Masyarakat Baduy yang masuk islam dan mengabdikan dirinya kepada Kesultanan Banten. Terletak di Desa Kasunyatan Kec. Kasemen Kota Serang.

3.      Makam Pangeran Jaga Laut
Adalah Putera Sultan Banten dari isteri yang lain (bukan Nyi Ratu Ayu Kirana). Beliau merupakan salah satu Ulama Besar Banten, yang menyebarkan islam di kawasan pesisir utara Banten. Terletak di Desa Kronjo.

4.      Penjiarahan Gunung Santri
Makam Syekh Muhamad Sholeh bin Abdurohman atau lebih dikenal dengan penjiarahan Gunung Santri terletak di atas Puncak Gunung Santri di Kec. Bojonegara Kab. Serang, terletak disebelah Barat Laut Daerah Pantai Utara, 25 Km dari Kota Serang atau sekitar 7 Km dari Kota Cilegon. Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon.
Karena kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji.
Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.
Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.

5.      Makam Arya Wangsakara
Sumedang/Lengkong Santri, Desa Pagedangan Kec. Curug. Nama Tokoh utama yang dimakamkan di Komplek makam ini adalah Raden Arya Wangsakara bergelar Pangeran Wiraraja II atau terkenal dengan julukan Imam haji Wangsaraja. Ayahnya bernama Pangeran Wiraraja I atau bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang. Ibunya bernama Putri Dewi Cipta, anak Raden Kidang Palakaran Cucu Pucuk Umum dari Banten. Berdasarkan silsilah tersebut, Aria Wangsakara berasal dari Sumedang dan Cirebon, sementara pihak Ibu berasal dari Banten. RA Wangsakara juga seorang ulama, mendirikan kampung ini
sebagai basis syiar Islam dengan santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.

 Sejarah Banten
Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan Kota Pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan Masyarakat yang terbuka dan Makmur. Banten juga merupakan bagian dari Kerajaan tarumanagara. Salah satu Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidang Hiyang atau Prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak ditepi Cidang Hiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi Prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten menjadi salah satu Pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu Pelabuhan Kerajaan itu selain Pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (tangerang), Kalapa dan Cimanuk.
Sekilas perjalanan keturunan Kesultanan Banten
            Menurut sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat), Prabhu Siliwangi ini menikahi seorang puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga Caruban bernama Rara Subanglarang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Krawang, dengan syarat menikah secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan di dudukkan di Keraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan di perkenankan tetap melakukan sembahyang lima waktu. Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang dari Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga orang keturunan, ialah : Pangeran Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang.  Menurut sejarah Cirebon, salah seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran ( dari pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon, Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, seorang kemenakan dari putera adiknya, Nyai Rara Santang. Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran

Menurut sejarah Banten, Putera Prabhu Siliwangi Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari kentring Manik Mayang Sunda, yang merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal. Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan Dipati pesisir Banten. Sang Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, Syarif Hidayatullah  menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I. Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga di gelari Gunungsepuh. Kasultanan Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya kerajaan-kerajaan yang tersisa kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal hubungan wangsa Kediri di Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram Ngayogyakarta. Bahkan dari penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten Darussalam memiliki 4 propinsi di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat. Dua  propinsi adalah Daerah Istimewa, dan salah satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI Jakarta.
Sultan Maulana Hasanuddin menikah dengan 2 orang isteri. Isteri pertamanya ialah puteri Sultan Demak III, Trenggono. Dari pernikahan dengan isteri pertama berputera sulung Maulana Yusuf. Dan putera kedua di angkat menjadi Dipati Jepara.
Dengan pernikahan dari isteri kedua, berketurunan puteri. Nantinya puteri Banten ini yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh Yusuf dari kerajaan Tallo menikah dengan puteri Banten  ( adik) saudara  Sultan Banten (II), Maulana Yusuf. Keturunannya nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin, ayam jantan dari timur. Yang pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika Selatan. Atau juga di sebut Cape oleh lidah barat.
Setelah Maulana Hasanuddin mangkat, putera sulungnya Maulana Yusuf di angkat menjadi Sultan Banten ke-2. Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk meluaskan wilayah kasultanan Banten.  Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk menguasai kedaton terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Riwayat Perjuangan :
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
 Sunan Gunung Jati
 Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
 Maulana Yusuf 1570 - 1580
 Maulana Muhammad 1585 - 1590
 Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
 Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
 Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
 Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
 Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
 Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
 Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
 Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
 Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
 Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
 Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
 Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
 Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
 Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
 Aliyuddin II (1803-1808)
 Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
 Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
 Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Sumber :
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/masjid-agung-banten-2
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/makam-pangeran-arya-mandalika
http://bantenculturetourism.com/?p=1047
http://bantenculturetourism.com/?p=1104
https://www.academia.edu/5141627/Pola_Kampung_Lengkong_Ulama_Kekhasan_yang_Sudah_Lama_Ingin_Didengar
https://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/
http://taganabanten-info.blogspot.in/2009/10/sejarah-kesultanan-banten.html
https://babadsurosowanilustrasikronologi.wordpress.com/ekspansi-sultan-banten-maulana-hasanuddin/

Filosofi Jawa seputar Bibit – Bobot – Bebet



Saya ingin mengupas sedikit filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Bobot- bibit -bebet adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon jodoh versi Jawa. Atau paling tidak  menjadi alat kalibrasi atas kriteria yang selama ini sudah dikantongi oleh masing-masing para pencari jodoh dalam rangka uji proper and test calon atau sosok yang akan diincar.
            Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati , meski tidak terlalu selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”
Perlu diketahui, filosofi Jawa mengatakan bahwa ada lima perkara dimana manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib perjalanan hidupnya; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib), lima bandha (rizki).
Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orangtua melaksanakan pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih – pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia. Seperti kita ketahui bahwa Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk sosial atau zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi dan komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa. Disinilah letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis dalam duka maupun duka. Falsafah Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET dapat menjadi alternatif bijak untuk menjawab konsep dalam  The Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan menarik getaran jiwa yang sama”.
 Kriteria dalam menentukan jodoh yang dimaksud yaitu :
BOBOT adalah kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dan lain-lain berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan tega bila putri kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang harus menjalani hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang tak kenal sayang? Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan, kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi; (1) Jangkeping Warni (lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik. Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten; (2) Rahayu ing Mana (baik hati) bahasa kerennya “inner beauty”. Termasuk kategori ini adalah kepahaman agama sang menantu; (3) Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama); (4) Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.
BIBIT adalah asal usul/keturunan. Di sini kita diajarkan untuk konsen terhadap asal-usul calon menantu. Jangan sampai memilih menantu bagai memilih kucing dalam karung, yang asal-usulnya tidak jelas, keluarganya juga remang-remang, pekerjaannya cuma begadang di jalanan. Namun, bukan berarti bahwa kita harus mencari menantu keturunan “darah biru”, tetapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
Menurut teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya, bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan generasi sebelumnya.
Jadi, filosofi jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi salah satu alternative yang bijak dalam “laku babad” untuk menjaga dan melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap kesehatan mental – spiritual generasi bangsa selanjutnya.
BEBET merupakan status sosial (harkat, martabat, prestige). Filosofi Jawa memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet ini memang penting tapi tidak terlalu penting. Dalam filosofi Jawa mengatakan, “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi). Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Itulah filosofi Jawa tentang bobot, bibit, bebet.
Oleh karena itu , untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari benih (bibit) yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat.
Fatwa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata – mata memandang lahiriah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta bendadapat melupakan tujuan mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dan sebagainya.

Sumber :
https://beritanuansa.wordpress.com/2013/10/24/memahami-kriteria-bobot-bibit-bebet-dalam-mencari-jodoh/
http://karatonsurakarta.blogspot.in/2009/09/bibit-bobot-bebet.html
http://kbbi.web.id/bibit
http://kbbi.web.id/bobot
http://kbbi.web.id/bebet
http://biologimediacentre.com/gregor-mendel-peletak-dasar-konsep-genetika/
http://www.smakhadijah.com/?module=detailtulisan&id=46&lang=id
https://rainiyrainbow.wordpress.com/2013/04/10/the-most-important-in-our-life/

Makam Keramat


                           


Naturalisme Penyebaran Islam dan Makam Keramat Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir
Ketika mengamati peta pesisir utara Kabupaten Tangerang, Anda dapat menjumpai pulau unik berbentuk seperti cangkir. Sesuai bentuknya, pulau seluas 4,5 hektar tersebut dinamai Pulau Cangkir. Pulau Cangkir merupakan salah satu destinasi wisata tepatnya wisata ziarah karena di dalamnya terdapat makam salah seornga ulama besar Banten.
Pulau Cangkir dapat dikunjungi dengan bus jurusan Kali Deres – Kronjo dari Jakarta. Bila ingin lebih praktis, Anda dapat menggunakan kendaraan pribadi. Dari Jakarta ikuti Tol Jakarta-Merak sampai Kabupaten Tangerang. Setelah kurang lebih 20 menit Anda akan menjumpai Jalan Pasar Kemis/Siliwangi. Ikuti jalan tersebut hingga tiba di Jalan Raya Cadas – Daon dan belok kiri pada tikungan pertama. Setelah kira-kira 10 menit perjalanan Anda akan menjumpai sebuah persimpangan. Pilih tikungan ke kanan untuk menuju Pulau Cangkir.
Secara administratif, Pulau Cangkir terlatak di Desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Sebuah pulau kecil yang kini terhubung dengan daratan kronjo Tangerang. Pulau ini dahulu terpisah dari pulau utamanya. Tetapi kini Pulau Cangkir sudah tampak menyatu dengan main land-nya, ini karena ada upaya swadaya masyarakat sekitar dan pengelola situs untuk membuat jalan penghubung dengan menggunakan urugan tanah pada tahun 1995 lalu untuk memudahkan peziarah memasuki pulau tersebut. Sebagai obyek wisata pantai, ”Pulau Cangkir merupakan obyek wisata ziarah karena di pulau ini terdapat makam Pangeran Jaga Lautan, yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai wilayah di Nusantara ini, dengan berbagai tujuan masing- masing.” kata Muzawir itu atau yang biasa dipanggil Ust. Juweni bercerita tentang asal muasal pulau tersebut, dan keberadaan sang Pangeran.
“Beliau sengaja ditempatkan Sultan Maulana Hasanuddin di daerah pesisir Kronjo yang pada masa itu menjadi jalur transportasi perdagangan antara Banten-Tirtayasa, Kronjo, Mauk, Cisadane-dan Jayakarta (sekarang menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta . Dahulu, pulau ini terpisah dari daratan. Untuk mencapai pulau ini, saya harus menggunakan sampan. Baru beberapa tahun ini kemudian dibuatkan daratan untuk menyambungkan pulau ini dengan daerah Kronjo,” ujar Ust. Juweni, bak pemandu wisata.
Mendengar kisah sang pangeran, “Mengapa makam Syekh Jaga Lautan dikeramatkan?” Mungkinkah mereka ini awalnya adalah kepala pelabuhan, yang kebetulan punya keahlian agama, dan mengajarkannya kepada penduduk sekitar.
Saya urai lagi cerita tentang penyebaran Islam di daerah pesisir yang kerap saya baca, atau saya dengar. Embah Priok, konon hadir di Tanjung Priok pada abad ke 17 dua abad setelah penguasaan Banten dari Wilayah Kerajaan Sunda Padjajaran oleh Sultan Maulana Yusuf. Saat itu Batavia berada dalam genggaman Kasultanan Banten. Sementara Pangeran Cangkir yang berjuluk Pangeran Jaga Lautan, konon mendiami pulau yang luasnya hanya sepetak sawah itu, atas perintah Sultan Mauna Hasanuddin Banten. Dan Syekh Jamaludin, adalah utusan Sultan Banten, yang juga dikenal sebagai pejuang perlawanan terhadap Portugis.
Kesamaan pola yang terlihat dari penguasaan pelabuhan-pelabuhan tersebut oleh para tokoh –kemungkinan ulama – yang kemudian juga dikeramatkan itu. Bahwa lautan harus dijaga secara seksama. Para tokoh lampau itu sadar benar pentingnya kelautan bagi Nusantara. Bahkan bisa jadi mereka di tempatkan di berbagai pulau kecil itu, bersama beberapa prajurit. Saat itu juga mungkin ada semacam kesepakatan atau konsensus dari para ulama dan Sultan, tentang pentingnya kekuatan maritim bagi kelangsungan penyebaran Islam.
Beberapa tahun lalu, ditemukan kerangka Gajah dan beberapa pernak-pernik seperti piring hiasan yang berasal dari Cina di desa ketapang, yang terletak di selatan Pulau Cangkir, menguatkan asumsi tersebut. Berbeda dengan pemerintahan Republik Indonesia yang abai terhadap hal itu. Dalam hal ini, kita patut berterimakasih kepada negara  Jiran, yang turut menyadarkan pentingnya kekuatan maritim bagi NKRI. Kita juga patut berterimakasih pada Gus Dur, yang sejak lama meneriakkan hal itu, terlebih di era pemerintahannya yang singkat, Dia meletakkan dasar-dasar kemaritiman RI.
Secara geografis, Pulau Cangkir merupakan pulau terdekat dengan daratan. Terletak di sebelah barat Desa Kronjo. Meski berada hampir di tengah laut, pulau itu masih terlihat kokoh dari jauh. Sementara daratan Kronjo sendiri mengalami abrasi di berbagai sisi. Jalan menuju ke pulau kecil itu juga cukup terjal. “Padahal ini termasuk daerah wisata di Tangerang,” kata Ust. Juweni. Bahkan mobil pribadi yang “ceper” tidak dapat masuk sampai kepulau Cangkir tersebut karena jalannya yang dipenuhi lubang yang dalam disana sini. Hal ini membuat kami sangat prihatin. Kawasan yang begitu indah tapi kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Tak jauh dari Pulau Cangkir terdapat Pulau Laki. Letaknya di sebelah barat Pulau Cangkir. Konon Pulau Laki merupakan Gudang rempah-rempah milik VOC. Di sana, juga konon, terdapat beberapa gedung bekas peninggalan VOC. “Ada Night Club, atau semacam Bar nya juga loh, vila dan gudang. Tapi sekarang sudah kosong semua. Tak ada penduduk yang mau mendiami pulau itu,” ujarnya.


Sekilas Sejarah Sultan Maulana Hasanuddin
Beliau dilahirkan di Cirebon pada tahun 1479 M. Beliau adalah anak kedua perkawinan antara Syarief Hidayatullah dengan Nyi Kawung Putri Ki Gendheng Anten. Kemudian pada tahun 1526 M, pangeran Hasanuddin menikah dengan putri mahkota Sultan Trenggana (Nyi Ratu Ayu Kiran), setelah menikah beliau dinobatkan menjadi Sultan Banten pertama oleh Sultan Trenggana (Demak III) Pada tahun 1552 M setelah beliau berusia 73 tahun. Pada tahun 1570 beliau wafat di Banten dan jenazahnya dimakamkan disamping masjid Banten dalam usia 91 tahun (1479-1570).
·         Silsilah Waliyullah Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir :
Maulana Hasanuddin menikah dengan Nyi Ayu Kirana mempunyai 3 orang     anak        yaitu :
1.      Ratu Fatima
2.      Pangeran Yusuf
3.      Pangeran Arya Jepara
Maulana Hasanuddin dengan Ratu Indra Pura, mempunyai 1 orang anak yaitu :
1.      Pangeran Sabrang Wetan
Maulana Hasanuddin dengan Putri Demak, mempunyai 4 orang anak yaitu :
1.      Pangeran Suniraras (Tanara)
2.      Pangeran Padjajaran.
3.      Pangeran Pringgalaya.
4.      Ratu Ayu Kamudarage.
Maulana Hasanuddin dengan istri selirnya mempunyai 8 orang anak yaitu :
1.      Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir Kronjo.
2.      Ratu Keben.
3.      Ratu Terpenter.
4.      Ratu Wetan.
5.      Ratu Biru.
6.      Ratu Ayu Arsanengah.
7.      Pangeran Padjajaran Wadho.
8.      Tumenggung Walatikta.
Silsilah ini sudah diakui dan dikukuhkan oleh para Nasab (keturunan) Waliyullah Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir.
Peninggalan Sejarah Pulau Cangkir
Disekitar makam keramat waliyullah Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir terdapat beberapa peninggalan sejarah yang sampai saat ini masih dijaga kelestariannya oleh warga sekitar. Salah satu diantaranya adalah ”Gentong Air Manakib Syeikh Abdul Qodir Jailani”. Karomah dari air gentong ini adalah meskipun berada ditengah laut tapi airnya tidak terasa asin sama sekali seperti air laut yang ada pada umumnya. Dan air ini juga tidak pernah surut meskipun tiap hari diambil dan digunakan baik oleh warga sekitar maupun para peziarah yang setiap harinya datang kepulau Cangkir tersebut. Dan air Gentong ini dipercaya  memiliki banyak manfaat. Ada yang menggunakannya sebagai obat penyembuh berbagai penyakit dan ada juga yang menggunakannya untuk cuci muka agar awet muda. Meskipun masih mitos, tapi warga setempat dan para peziarah mempercayai hal tersebut.
Para peziarah juga percaya jika kita berziarah dan mengirimkan doa kepada pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir, maka semua permintaannya insya Allah akan terkabulkan atas izin Allah.”Tapi kalau kita salah niat yang ada malah bisa membuat kita menjadi musyrik.” ujar Ust. Juweni.
Makam Keramat Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir
            Di dalam Pulau Cangkir terdapat banyak makam tetapi hanya satu yang di kramatkan oleh warga sekitar dan juga para peziarah.. Makam itu adalah makam Syeck Waliyudin yang sering di sebut dengan Pangeran Jaga Laut. Yang pada masanya beliu datang ke Pulau Cangkir untuk menyebarkan agama Islam didaerah tersebut.
Karena di kramatkan seringkali Pulau Cangkir di padati oleh peziarah yang sengaja untuk mendoakan Pangeran Jaga Laut. Tidak hanya hari-hari biasa tetapi hari-hari besar seperti awal bulan Muharam peziarah sengaja datang ke makam tersebut.
Pantai Pulau Cangkir
Bau amis ikan yang menyengat tidak mematahkan semangat ku untuk menuju ke Pulau Cangkir, karena setelah kami sampai disana kami diberikan suasana pemandangan yang indah, terbantangnya lautan, hembusan angin yang ringan, dan suara deburan ombak, yang berirama yang membuat kami tetap lebih bersemangat. Pulau Cangkir merupakan salah satu dektinasi bahari di Kabupaten Tangerang. Pulau Cangkir adalah pulau yang di kelilingi oleh pasir putih dan hamparan pantai yang landai. Karena letaknya yang berada di tengah laut, para pengunjung yang datang tidak hanya sengaja berziarah kemakam Pangeran Jaga Laut saja, tapi juga datang untuk berenang, memancing di sebuah tambak ikan, dan disana juga di sediakan sarana penyewaan perahu untuk berlayar ke pulau Seribu.
Letak Pulau Cangkir yang berada di tengah laut, warga sekitar yang tinggal di sana sebagaian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Itu terlihat ketika kita dalam perjalanan menuju ke Pulau Cangkir, di sekeliling kami banyak perahu-perahu yang sedang berlayar atau pun parkir dan juga tambak-tambak yang membentang. Karena letaknya yang di laut, Pulau Cangkir terancam abrasi akan tetapi untuk saat ini, sekitaran pantai  Pulau Cangkir telah dilakukan pemabangunan batas pesisir pantai dari beton.  

Sumber :
Narasumber :
1.      Nama           : Ust. Juweni
2.      TTL            : Tangerang, 6 Juni 1956
3.      Alamat         : Kronjo, Kontang
4.      Pekerjaan     : Koordinator Muzawwir
Daftar Pustaka
         Muzawwir
         http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/11/09/pulau-cangkir-pulau-laki-cerita-tentang-kemaritiman-banten/
         Tempat wisata Pulau Cangkir
         http://shadambgt.wordpress.com/2010/04/23/observasi-abrasi-pantai-pulau-cangkir-dan-pantai-utara-kab-tangerang-sebagai-dampak-pembangunan-wisata-bahari-dan-pembukaan-tambak/
        http://aci.detik.com/read/2010/08/18/134553/1422587/962/pantai-pulau-cangkir
       http://megapolitan.kompas.com/read/2010/12/07/1729232/Pulau.Cangkir.Dipadati.Peziarah
       bantenculturetourism.com
_       http://jakarta.panduanwisata.id/beyond-jakarta/tangerang/wisata-ziarah-ke-pulau-cangkir/
_        http://pulaucangkirindah.blogspot.com/p/pangeran-jaga-lautan.html



- Copyright © Kanvas Alfabet - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -