- Back to Home »
- Pesona KH. Muhammad Dimyati (Buya Dimyati Cidahu)
Posted by : Bintang Senja
Senin, 26 Januari 2015
Beliau bernama lengkap KH. Muhammad
Dimyathi bin Muhammad Amin al-Bantani yang biasa dipanggil dengan sebutan
“Abuya Dimyati”, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil “Mbah Dim”. KH.
Muhammad Dimyati yang biasa dipanggil dengan Buya Dimyati merupakan sosok Ulama
Banten yang memiliki karismatik, beliau lahir di pandeglang 27 Syaban 1347 H
bertepatan dengan tahun 1920. Anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak
kecil Buya Dimyati sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pon-pes Cadasari,
kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Nasabnya
bersambung kepada Nabi Muhammad Saw melaui Maulana Hasanuddin, Sultan
Banten pertama.
Masa kecil Abuya dihabiskan di kampung kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut
ilmu, Abuya dididik langsung oleh ayahandanya, Syaikh Muhammad Amin bin Dalin.
Lalu melanjutkan berkelana dalam dunia ilmu pengetahuan Islam ke berbagai
pesantren di tanah Jawa. Mulai dari pesantren yang berada di Cadasari, Kadu
Pesing, Pandeglang, Pelamunan, Plered Cirebon, Purwakarta, Kaliwungu,
Jogja, Watucongol, Bendo Pare dan sebagainya sampai usia sudah setengah baya.
Di sekitar tahun 1967-1968 M, beliau berangkat mondok lagi bersama putra
pertama dan beberapa santri beliau.
Abuya berguru pada
ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri
Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah
Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech
Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki
kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama
kemudian para kiai sepuh wafat.
Banyak kisah-kisah menakjubkan ketika beliau nyantri.
Ketika mondok di Watu Congol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada para santri,
besok akan datang ‘kitab banyak’. Ini mungkin adalah sebuah isyarat akan
datangnya seorang yang telah mumpuni akan ilmu pengetahuan tetapi masih haus
akan menuntut ilmu. Setelah berada di pesantren Mbah Dalhar selama 40
hari abuya tak pernah di tanya dan disapa. Setelah 40 hari baru Mbah Dalhar
memanggil, sampeyan mau apa jauh-jauh ke sini. Saya mau mondok Mbah.
Perlu kamu ketahui di sini tidak ada ilmu, ilmu itu ada di sampeyan. Kamu
pulang saja syarahi kitab-kitab mbahmu. Saya tetap mau ngaji disini mbah.
Kalau begitu kamu harus membantu mengajar dan tidak boleh punya teman.
Ketika hendak mengaji ke Mbah Baidlowi
Lasem beliau disuruh pulang. Tapi Abuya tetap bertekad menjadi santri Mbah
Baedlowi sampai akhirnya Mbah Baidlowipun menerimanya. Ketika Abuya bermaksud
berijazah tareqat syadziliyah kepad Mbah baedlowi beliau menyuruhnya
beristikharah. Dengan tawaddu’ Mbah baedlawi merasa tidak pantas mengijazahkan
tariqat kepada Abuya. Kemudian setelah istikharah dan menurut istikharah itu
bahwa Mbah baedlawi adalah mursyid yang sudah nihayah dalam tariqat dan
tasawwuf , barulah Mbah Baedlowi mengijajahinya.
Di pondok Bendo Pare, Abuya
dikenal dengan Mbah Dim Banten, nama ini di laqobkan dengan asal Abuya yang
berasal dari daerah Banten. Dan di pesantren inilah Abuya diyakini oleh para
santri sebagai sulthonul awliya. Wallahu a’lam.
Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan
perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat
Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau
penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’
dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun.
Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah
mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian
kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.
Abuya Dimyati pertama
menikah dengan Hj. Ashmah binti Abuya Jasir pada tahun 1948 ketika Abuya
Dimyati mondok di Kadupeusing. Pernikahan ini dikaruniai 7 orang anak, yaitu
Ahmad Muhtadi, Muhammad Murtadlo, Abul Aziz Fakruddin, Ahmad Muntaqo, Musfiroh,
Ahmad Muqatil dan Ahmad Syafi’i (wafat ketika lahir). Pernikahan kedua Abuya
Dimyati adalah dengan Nyai Qamariyyah, Karawang, ketika mondok di Mama Sempur
Purwakarta, antara tahun 1951-1953. Pernikahan kedua ini memperoleh dua orang
anak yang keduanya meninggal dunia saat masih bayi. Pernikahan ketiga Abuya
Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Dalalah binti KH Nawawi, ketika mondok di Mbah
Dalhar, Watucongol, tahun 1956. Pernikahan ketiga ini dikaruniai enam orang
anak, yaitu Ahmad Ajhuri, Qayyimah, Ahmad Mujahid, Ahmad Munfarij, Ahmad Mujtaba,
dan Ahmad Muayyad. Pernikahan keempat Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj.
Muthi‘ah, Serang, pada tahun 1970 M. Melalui pernikahan ini Abuya Dimyati
dikaruniai seorang anak, Muhammad Thoha yang meninggal dunia ketika lahir.
Pernikahan kelima Abuya Dimyati adalah dengan Nyai Hj. Afifah binti H.
Marhasan, Pandeglang, pada tahun 1997 dan tidak dikaruniai anak.
Buya Dimyati merintis
pesantren di desa Cidahu Pandeglang sekitar tahun 1965 beliau banyak melahirkan
ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin ja”far assegaf yang sekarang
memimpin Majlis Nurul Musthofa di Jakarta dan masih banyak lagi murid-murid
beliau yang mendirikan pesantren. Dalam menerapkan tahfiz Qur`an kepada para
santrinya, Abuya Dimyati mengharuskan terlebih dahulu belajar kitab salaf
secara mendalam sebelum menghafal Al-Qur`an. Menurutnya, ketika seseorang
terlebih dahulu menghafal Al-Qur`an sebelum pandai memahami dan mengkaji kitab
salaf maka ia tidak akan maksimal mempelajari Al-Qur'an.
Murid-murid beliau menyebar dari berbagai peloksok negeri. Mungkin jumlahnya
jutaan bila setiap orang yang pernah mendapatkan pengalaman batin yang berharga
dengan beliau di anggap sebagai murid walau ia hanya bersowan beberapa kali.
Atau pernah mengaji sekali atau dua kali di majlis beliau. Karena banyak para
tamu yang berniat hanya memohon do’a kemudian tertarik ingin mengikuti
pengajian beliau walau hanya sekali. Kiayi-kiayi sepuh wilayah Banten umumnya
mengikuti pengajian beliau setiap malam selasa yang dilaksanakan tengah malam.
Belum murid-murid yang berijazah hizib nashar dan tariqah sadziliyah yang
jumlahnya sangat banyak.
Di antara murid-murid beliau adalah
Ki Mufassir Padarincang, Abah Ucup Caringin, Habib hasan bin Ja’far
Asseqaf pengasuh Majelis Ta’lim Nurul Musthofa, Jakarta dan tentunya
putra-putra Abuya seperti KH. Murtadlo dan KH. Muhtadi.
Abuya bagi masyarakat Islam laksana oase di tengah kehidupan yang kering
dari nilai-nilai. Beliaulah lambang keterusterangan di tengah kegemaran
berbasa- basi. Beliaulah lambang kiayi yang istiqomah di tengah maraknya kiayi
yang terpesona kehidupan duniawi. Karakternya begitu kuat. Wibawanya tak
tertandingi Presiden RI. Hidupnya begitu sederhana. Ia hanya tinggal di sebuah
gubuk lusuh yang terbuat dari bambu dan seng saja. Majelisnya tak berlistrik.
Wajahnya begitu manis. Marahnya adalah cinta. Lirikannya adalah berkah.
Sentuhannya adalah nikmat agung. Do’anya mustajab. Diamnya adalah berfikir dan
berdzikir. Siapa orang yang pernah berjumpa dengannya pasti akan mendapat kesan
berharga dalam kehidupannya. Kita termasuk orang-orang yang beruntung hidup
sezaman dengannya. Apalagi sampai dapat bertemu dengannya.
Manusia mulia yang sulit dicari penggantinya ini wafat pada malam jum’at jam
tanggal 07 sya’ban 1423 H. Bertepatan dengan 03 oktober 2003 (7 Sya‘ban 1424 H)
dalam usia 78 tahun, setelah bermarhaban baru selesai. Abuya meninggalkan 3
orang istri, 6 orang putra, dan 2 orang putri. Karya Abuya yang telah dicetak
di Pesantren Raudatul ‘Ulum Cidahu adalah Minhaj al-Istifa fi Khashaish Hizb
an-Nashr wa Hizb al-Ikhfa menguraikan tenang hizb nashar dan hijib ikhfa.
Dikarang pada bulan Rajab 1379/1959. Al-Hadiyyah al-Jalaliyyah fi
ath-Thariqah asy-Syaziliyyah tentang tarekat Syadziliyyah, ashl al-Qadr fi
Khashaish Fadlail Ahl Badr tentang khushushiyat sahabat pada perang badr, Rasm
al-Qashr fi Khashaish Hizb an-Nashr isinya yaitu menguraikan tentang hizib
nasr, Bahjah al-Qalaid fi ‘Ilm al-‘Aqaid, Nur al-Hidayah fi Ba‘d ash-Shalawat
‘ala Khair al-Bariyyah, dan Majmu‘ah al-Khutab. Selain karya tersebut, sebuah
karya berjudul Madad al-Hakam al-Matin musnah dalam musibah kebakaran
kediamannya pada tahun 1987.
Karomah Abuya Dimyati
1.) Mengkhatamkan Kitab Tafsir Ibnu
Jarir Dalam Waktu Singkat
Di tahun 1999, dunia dibuat geger,
seorang kyai membacakan kitab Tafsir Ibnu Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak
yang tidak percaya si pengajar dapat merampungkannya, tapi berkat ketelatenan
Abuya, pengajian itu dapat khatam tahun 2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu
Jarir itu setelah khatam 4 kali membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).
2.) Berziarah Di Baghdad Setiap Malam
Jum’at
Salah satu cerita karomah lain adalah,
ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Makam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di
Baghdad, Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga karena banyak
kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad saw.
Akan tetapi, dia dapat menziarahi sampai ke Makam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani. Ketika sampai di makam tersebut, maka penjaga makam bertanya
padanya, "Anda dari mana?" Si kyai menjawab, "Dari
Indonesia." Maka, penjaganya pun langsung bilang, "Oh, di sini pada
setiap malam Jum'at ada seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah hanya
duduk saja di depan makam beberapa waktu, namun peziarah-peziarah lain akan
ikut diam demi menghormati beliau, setelah beliau mulai membaca Al-Qur'an, baru
para penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri-sendiri.
Mendengar hal itu, kyai tadi kaget, dan
berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama
tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya
Dimyati. Maka kyai tersebut terkagum-kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia
menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di makam Syeikh Abdul Qadir
al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan
santri-santrinya.
3.) Karomah-Karomah Lain
Cerita-cerita lain tentang karomah
Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum. Misal seperti; masa
perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis terdepan menentang penjajahan;
kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu akan menabrak Abuya di
Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat kepada gurunya, KH. Rukyat
(Mbah Ru’yat) Kaliwungu Kendal. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran
orang; kisah nyata beberapa orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan
Abuya di Makkah padahal Abuya telah meninggal dunia.
Sumber :
Buku Manakib Abuya Cidahu (Dalam Pesona
langkah di Dua Alam)
Buku Para Penjaga Al-Qur'an, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2011
http://suhaedialvhega.blogspot.com/2012/05/buya-dimyati.html
https://www.facebook.com/KumpulanKaromahSyaikhAbdulQodirJailaniRa/posts/584425301578208
http://penatas.blogspot.in/2011/05/biografi-abuya-dimyati-banten.html
http://pesantrenkaliwungu.blogspot.in/2014/05/kh-dimyati-banten-abuya-dimyati.html