- Back to Home »
- Bintang Muncul Tanpa Permisi
Posted by : Bintang Senja
Sabtu, 13 Desember 2014
“Ah, masih banyak banget tugas
yang belum kelar. Padahal 2 minggu lagi mau UAS lagi” terdengar keluh Hana di
kamarnya. Kertas-kertas berukuran F4 yang masih polos, masih rapi pula di
mejanya. Tangannya masih belum terasa pegal sama sekali (karena ia belum menulis
apapun hari ini). Ia hanya menunduk menatap tugas mata kuliahnya. Tugas
artikel, puisi, kemudian cerpen; semua itu adalah tugasnya kini hingga deadline
tugas tiba.
Sebenarnya ia bisa kerjakan tugas
seperti artikel atau puisi. Hanya saja untuk buat artikel, ia masih perlu
banyak referensi, buku-buku perpustakaan jurusan. Puisi, ia sudah jago, bahkan
ia pernah juara tingkat kecamatan dalam lomba perayaan hari besar keagamaan.
Cerpen, ini dia masalahnya kini.
“Mendingan cari pencerahan aja
dulu di internet” begitu pikirnya, yang sebenarnya sudah berkali-kali ia
lakukan. Ia buka laptopnya, mengoneksikan dengan internet hasil teathering,
browsing, dan seperti pada umumnya orang ketika mencari di search engine, arah
pencariannya makin lama makin tak jelas. Dari mulai kata “contoh cerpen”
kemudian “kumpulan cerpen” malah semakin jauh hingga sampai pada keyword
terakhir “Fisbuk (nama jejaring sosial yang tenar saat itu)”. Ya, dan itu sudah
sering ia lakukan berkali-kali. Tapi, tunggu….. sebaiknya untuk keyword
terakhir tak terjadi. Ia membaca cerpen dari website.
“Gimana kalau tentang ini aja” ia
mulai minta saran pada diri sendiri. Sebelum ia kembali lupa, ia biarkan apa
yang ada dikepalanya mengalir ke hamparan kertas F4 melalui pulpennya. Kira-kira
begini tulisannya saat itu :
Hempasan angin membulirkan padi tanda pagi
menjelang, gelap bersahaja masih
mewarnai dunia. Kala itu Diana seorang wanita remaja membuka jendela. Dihirupnya udara pagi nan senyap dalam
keheningan bahasa,
Ibu :
De, kau tak pergi ke surau ? Cepat segera kau tunaikan kewajibanmu itu.”
(Terdengar nyaring dibalik bilik).
Diana : iya bu, ade hendak merapihkan kamar
terlebih dahulu.” (Bergegas diri).
Tidak seperti kehidupan kota yang marak akan
lalu lalang kendaraan, di Desa kami masih sangat jauh dari hirup pikuk
kehidupan. Pembangunan masih hanya sebuah angan
yang tak pernah kami impikan. Meski kami berada dipulau dengan jumlah
penduduk terbesar akan tetapi kami masih terasingkan . Sudah sekian lama kami
menunggu pemerintah merealisasikan segala bentuk rencana pembangunan yang
dicanangkan. Namun rupanya rencana hanya tinggal sebuah nama, nyatanya kami tak
pernah bermakna. Sesekali kami sempat melihat dunia luar dari televisi hitam
putih milik ketua desa. Menyeruak asa dalam batasan rasa, akankah, mungkinkah.
Kembali
ia buntu, tak tahu harus bagaimana.
“Kakak,
makan dulu gih. Nanti habis makan dilanjutinnya” Gennady membuka pintu kamar
Hana. Hana segera bergerak menuju ruang makan.
“Gak
bosen apa di kamar mulu?”
“Bukannya
gak bosen, dek. Tugas kakak nih lagi numpuk banget. 2 minggu lagi harus udah
beres to.”
“Eleh,
woles aja kak. Masih 2 minggu ini” Gennady tertawa kecil
“Ye, dua
minggu tuh bentar lagi dek. Nanti kamu kuliah bakal ngerasain capeknya jadi
mahasiswa”
“Eh,
kenapa nih pada ribut-ribut. Udah cepet makan” . Ibu sudah stay di meja makan
menunggu Hana yang baru bersedia makan. Pikirannya masih belum tenang. Apa
lanjutan dari cerpennya itu? Sinetron episode 1 sudah mulai diputar di
kepalanya.
*******
“Gue udah
dong, tinggal artikel doang. Artikel tinggal copy-paste , langsung jadi” Klara dengan bangganya berkata pada
Hana.
“Wah,
enak banget. Gimana kalau kita barter aja. Gue buatin lo artikel, lo buatin gue
cerpen” Negosiasi pun terjadi.
“Ah,
penawaran yang gak menarik sama sekali. Gue juga bisa bikin artikel sendiri “
tawaran Hana pun ditampik. Ya, aku sendiri merasa tawarannya memang tidak
menarik.
Kawan,
sebenarnya problem dia cuma satu, cerpen yang buntu. Aku kadang merasa kasihan
pada Hana. Tapi apa daya aku cuma narator, tugasnya hanya bisa menceritakan
keadaannya (bung, ini tidak lucu).
Mungkin
ide lain bisa diterima. Beberapa percakapan di sore hari telah menampung
beberapa masukan bagus untuk idenya. Ada yang berkata “ Udah tentang cinta
tukang parkir dan orang kaya aja”. Hana hanya menggeleng kepala. Dia pikir ini
FTV?
Ada lagi
yang lain “ tentang perjalanan seorang wanita dalam meraih kesuksesan. Meskipun
ia punya keterbatasan.”. Namun, Hana sadar cerita seperti itu bisa jadi novel.
Kalau idenya sudah tak terbendung tentang satu tema, ia akan sulit mengontrol
sampai mana ia akhiri ceritanya. “Oke, bisa diterima”. Hana menyetujui.
Barangkali ia bisa kontrol. Lelaki itu tampak sumringah. Leo, lelaki yang
memendam rasa suka pada Hana sejak OSPEK (jangan bertanya dari mana aku tahu).
Jelas ia sumringah, karena setidaknya Leo punya peluang jadi ‘pahlawan’ untuk
yang dia sukai, Hana.
Ada lagi
ide yang cukup bagus “ Gimana kalau tentang cerita melawan adat kolot? Banyak
tahu cerita kayak gitu”. Tasya, dialah si pemberi saran pada Hana. Mungkin ia
bisa langsung ambil. Tasya, anak jurusan Sastra Indonesia itu memang langganan
juara cerpen di setiap event. Pilihan dari Tasya, ia terima.
Satu lagi
saran datang “Lanjutin aja sih cerpenmu yang buntu itu. Siapa tau kepikiran
lagi idenya.” Saran itu dari Saki, kawan se Departemennya di Himpunan. Ia
bertemu sehabis rapat himpunan.
Semua ide
kini ada di hadapan meja belajarnya. Tinggal ia ubah menjadi sebuah cerpen yang
selesai ia kumpulkan ke dosen, dan ia bisa tenang. Namun mentransformasi ide
menjadi cerpen tak semudah mengubah beras menjadi nasi yang pulen. Ia sadar,
sebaris ide ini saja tak cukup.
Ia
pandangi kalender di kamarnya. 9 hari menuju hari ulang tahunnya. “Ah, aku gak
akan bisa tenang atau happy-happy di hari ultahku kalau tugas ini aja belum
kelar.” Tiba-tiba terdengar suara kaki yang grusah-grusuh
berlari. “Kak, boleh minta kertas F4 gak?” Gennady terengah-engah masuk ke
kamar Hana. “Tak boleh” ucap Hana dengan logat seperti Kak Ros di film Upin
Ipin.
“Lagian
buat apa ,lagi?”’
“Buat
kerjain tugas kak”
“ya udah,
ini kertasnya” 3 lembar F4 ia berikan pada Gennady.
“Tumben
kamu ngerjain tugas. Biasanya males-malesan.”
“Ah,
kakak nih. Males-malesan salah, gak males-malesan juga salah.”
“Bukan
gitu, kakak malah seneng kamu jadi rajin gitu.”
“Hehe, ya
udah. Aku mau kerjain tugasku dulu” Gennady kembali berlari, seolah waktunya
tersita cukup banyak karena percakapan singkatnya. Ada yang janggal, pikir
Hana. Tapi, ia tersenyum, merasa tergugah pada semangat sang adik. “Ayolah. Semangat!”
soraknya mulai membakar energi untuk bekerja lagi.
*******
Akhir-akhir
ini Gennady mulai berlaku aneh. Mungkin bukan aneh, hanya terasa tak biasa.
Setelah pulang sekolah jam 14.30, ia langsung mengurung diri di kamar, berteman
dengan kertas dan pulpen, sesuatu yang biasanya membuat Gennady muak.
“Ma,
ngerasa ada yang aneh gak?” Hana masih menyetrika baju-bajunya .
“Aneh
kenapa?” Mama mengganti-ganti kanal ke acara TV kesukaannya, acara kesehatan.
“Itu,
Gennady. Jarang-jarang kan dia ngurung di kamar sambil mainin kertas.”
“Kan, gak
ada salahnya adikmu begitu.”
“Ya sih,
Cuma aneh aja gitu. Udah 5 hari dia gitu terus.”
“Ya
berarti kamu mesti contoh Gennady. Dia aja rajin. Kakaknya jangan mau kalah
dong.”
Job Hana
sudah beres. Tinggal ia masukan baju hasil setrikaannya ke lemarinya. “Perasaan
udah rajin kok”. Hana mulai melangkah menuju kamarnya.
Pakaian
sudah tertata rapi di lemarinya. Ia keluar dari kamarnya. Baru beberapa
langkah, ia melihat pintu kamar Gennady terbuka. Rasa penasaran Hana mulai
muncul. Seketika ia masuk ke kamar Gennady.
“Rajin
banget” kesunyian di kamar Gennady menjelma bersuara karena ucapan Hana. Entah
kenapa gelagat Gennady tiba-tiba jadi gugup dan kaget.
“Eh,
kakak. Ngapain kesini? Ngagetin pula.”
“Pengen
liat adekku ini tercinta lagi belajar. Kakak boleh liat gak tugasnya.”
“Gak
boleh!” refleks saja Gennady langsung menaruh kedua telapak tangannya di
kertasnya. “Kenapa?” Hana merasa ada yang aneh – lagi.
“Eh, anu.
Gak apa-apa sih kalau mau liat”. Entah aku salah liat atau tidak, ia sedikit
memilih kertas yang ia tunjukan, dan itu bukan kertas yang ia tutupi tadi.
Sayang sekali Hana tidak melihat trik itu (dan sayang sekali pula aku tak bisa
memberi tahu karena aku cuma narator).
“Pantes
aja anteng di kamar. Ternyata lagi belajar buat remedial matematika to. Mau
dibantuin gak?” Hana memperhatikan kertas coretan hitungan matematika yang
kacau. Ia tahu adiknya memang tak jago matematika.
“Nanti
aja, masih bisa kok” Gennady tertawa kecil dengan nada yang ‘aneh’ seperti
masih ada yang dia sembunyikan.
“Ya udah,
lanjutin lagi belajarnya” Hana keluar dari kamar Gennady, berlalu. 10 langkah
dari pintu tertinggal, seketika kedua tangan Gennady menggenggam kepalanya.
“Astaga !” seperti ada yang gawat. Ia masih menatap pintu kamarnya yang
terbuka. Gawat, pikirnya.
*******
Ibu : De, sedang apa kau duduk melamun seperti itu ?”
Diana: ohh ibu rupanya. (sontak membuatku terkejut, memang
sedari tadi aku terus saja sibuk melamunkan masa depan)
Aku sedang berpikir
keadaan desa kita jika suatu saat nanti pembangunan masuk kemari, bu. Pasti
akan amat menyenangkan ya, bu. (jawabku)
Ibu: Kau ini terus sajalah melamun , ayo segera bergegas
bantu ibu membuat kue.”
Diana : yah ibu.. Baik ,bu. (Beranjak pergi)
Hidup terkadang harus dipahami, apalagi untuk ukuranku yang
hanya anak seorang janda miskin. Getir
memang, tapi lebih baik beranjak bukan dari pada hanya bermimpi kosong. Kami
masih harus menyambung hidup dalam keadaan apapun. Telah lama aku putus sekolah karena tak ada
biaya. Seperti inilah, setelah ayah pergi semuanya terasa semakin sulit saja.
Tapi kami bukan orang-orang yang akan kalah oleh dunia, masa depan masih
terbentang luas disana.
Sorotan cahaya mentari menyeruak ke permukaan, memberi sedikit
cahaya dibalik bilik rumahku yang sederhana. Ini saatnya aku menjual berbagai
macam kue yang telah kami buat. Dengan terus berharap bahwasanya ada rizki kami
diluar sana.
Begitulah
cerpennya bersambung. Aku akui diksi yang dipilih oleh Hana selalu menawan. Ia
sudah mulai menemukan ide untuk cerpennya. Ia sadar bahwa ketika menulis, ia
harus membiarkan idenya ‘mengalir’ sebelum ia lupa. Ia segera memberi judul
‘Tak Kenal Rupa ataupun Nama’ pada cerpennya. “Uhm, bagus juga. Ide udah
kesusun. Tinggal lanjutin lagi nanti” Baru kali ini tangan Hana mulai terasa
pegal, setelah sekian lama ia tak menulis apapun. Namun, rasa senang kini mulai
mewarnai hati Hana malam itu. Ia sadar ia bisa membuat cerpen, dibekali dengan
pengetahuan seputar diksi yang cukup mumpuni. Tapi, ia sadar bahwa kumpulan
diksi yang indah dan nampak ‘intelek’ tanpa alur serta konflik tentu bukanlah
cerpen yang bagus pula.
Ia sadar
bahwa tugas mata kuliah yang lain masih menantinya. Ia harus benar-benar
membagi waktu. Tak banyak waktu main untuk sekarang, minggu ini, minggu-minggu
sebelum UAS. Waktunya kerjakan tugas hingga selesai. Liburan 2 bulan nanti
mungkin akan jadi ajang pelampiasannya. Ia mulai melihat lagi kertas yang dia
ambil dari Gennady sore tadi, berharap bisa membantu. “Kasihan Gennady, dia
sampai remedial. Besok mungkin aku bisa ngajarin dia. Mumpung ada waktu luang.
Kakak macam apa aku ngebiarin adiknya kesusahan kayak gitu” Hana memperhatikan
coret-coret Gennady. Halaman belakang buku catatan Hana menjadi sasaran untuk menghitung
kembali atau lebih tepatnya mengkoreksi perhitungan Gennady. Matriks ordo 2
kali 2 dan invers. Hana mengernyitkan dahi, Gennady yang masih kelas 1 SMA
sudah ditawari materi matriks. Dengan cekatan, tangan Hana membuat pulpennya
menari di halaman belakang buku catatannya.
Beres
beberapa soal, Hana merasa soal ini teramat mudah untuknya. Lanjut soal
lainnya. “Beberapa menit langsung beres ini mah” Hana tersenyum memandangi soal
mudahnya. Ia melihat kembali lembar tulisan Gennady. Matanya tertuju pada
sebuah coretan janggal ‘Jadi yang baik’ kemudian ‘ Usaha dulu biar bisa…’
tulisan kelanjutannya tak jelas. Ada lagi tulisan tak jelas berinisial H, ada
lagi coretin ‘Mission 3: ….’ Tak jelas lagi tulisannya. Ada lagi ‘Berhasil
Ngintip, Mission Complete’ Terlalu banyak sandi, terlalu banyak rahasia. Satu
lagi tulisan yang bisa ia baca ‘untuk wanita tercintaku, aku akan berusaha’.
Cie, cie, Hana hanya tertawa kecil. Sepertinya si adik sedang kasmaran. Ia
lanjut menyelesaikan soal latihan adiknya dan ternyata tidak perlu waktu lama
untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan-jawaban. Imbalan dari ‘jawaban’ dari
rasa penasarannya beberapa hari terakhir.
*******
Gennady
mulai menengok kiri kanan, seperti mengendap-ngendap. Aman, pikirnya saat itu.
Beberapa langkah menuju kamarnya, suara tak asing mengejutkannya.
“Ehm,
cie cie” Hana sedari tadi menatap gelagat adiknya.
“Kenapa
kak?”
“Kayaknya
ada yang disembunyiin. Tapi, sayang banget. Kakak tau apa yang kamu sembunyiin”
Hana mulai tertawa seperti pemeran antagonis ‘mainstream’.
“Rahasia
apa sih? Perasaan aku gak nyembuyiin apa-apa kok”
“Masih
gak mau ngaku? Mama...”
“Ssst!
Tolong jangan bilang siapa-siapa” Gennady reflek saja menutup mulut Hana.
“Sebenarnya aku pengen kasih kejutan Mama, nilai bagus di remedial nanti.
Makanya aku akhir-akhir ini belajar terus” Gennady mulai buka rahasia. Astaga,
di luar dugaan Hana. Salah besar.
“Jadi
itu yang kamu sembunyiin? Kenapa gak bilang kakak sih, kalau mau nilai kamu
bagus?”
“Abis
kakak tuh ember, entar ngomongin ke Mama lagi. Ini lagi kebongkar. Gagal nih”
Hana
menggeleng-geleng kepala melihat tingkah adik satu-satunya ini. “Gak bakal
dibilangin kok, Gen. Kakak janji gak akan bilangin ke Mama. Sumpah deh. Lagian
kakak juga niatnya pengen ngajarin kamu, supaya nilaimu bagus.”
“Beneran
nih?”
Hana
mengangguk. Gennady mulai girang. “Yuk belajar sekarang, siapin buku
catetannya” Hana merasa senang melihat apa yang ingin dilakukan oleh adiknya
ini, memberi kejutan untuk Mama. Andaikan saja adikku seperti itu, aku pun akan
semangat juga (maaf, seharusnya saya tidak perlu curhat disini. Jadilah narator
profesional).
Mulailah
mereka belajar bersama. Matriks dan Inversnya, begitulah materi yang bahas.
Dari pintu yang sedikit terbuka, Mama memperhatikan mereka berdua sedang belajar
bersama. Sesekali mereka bercanda. Mama hanya tersenyum melihat kegembiraan
dari kedua buah hatinya.
*******
Hari-hari
yang sibuk. Gennady semakin sering mengurung diri di kamar. Belajar dengan
rajin. Sesekali terdengar teriakan kecil “Argh! Kenapa susah sih?!”. Sepertinya
ia sangat berusaha keras. Berlembar-lembar kertas ia habiskan, tapi anehnya ada
yang ia susun rapi. Mungkin untuk dihafalkan.
Hana
semakin sering pulang malam, karena agenda himpunan sedang padat. Dia merupakan
anggota yang setia pada himpunan, terlebih ia menjadi ketua salah satu divisi
di himpunan. Ia sering bangun pagi sekali untuk mengerjakan tugas kuliahnya.
Tugas kuliah kadang seperti sungai yang tak ada ujungnya, ada saja setiap
minggunya. Pernah ia benar-benar lelah, sampai ia tak bisa bangun awal.
Sesekali ia pernah dipijat Mama. Gennady melihat kakaknya yang benar-benar
lelah itu. Iba rasanya.
Malam
itu Jum’at malam. Hujan turun amat derasnya. Gennady tiba-tiba aneh. “Kenapa
sih malah hujan?!” Gennady mengepalkan tangannya ke tembok.
“Kenapa
Gennady?” Mama cemas melihat gelagat Gennady. Gennady tetap tak bergeming. Ia
merasa sangat kesal. Ia segera masuk ke kamar, mengunci kamar dengan rapat.
“Halo,
jemput gue sih…Disini hujan…Mana disini tutup lagi… Please banget…Lu punya dua
jas hujan kan? Please lah…..Oke, Thanks banget ya. Gue tunggu lu di depan
rumah…. Oke”. Baru saja Gennady menelpon temannya. Hana mendengar percakapan
Gennady. Saat keluar dari pintu, “Kamu mau kemana? Hujan-hujan gini malah
pergi” Hana sedari tadi menunggu Gennady keluar dari kamarnya.
“Mau
belajar bareng kok.”
“Bohong.
Terus kenapa ada tutup-tutup segala?”
“Udah
sih, kak. Gak usah tau. Lagian jangan keras-keras nanti ketauan Mama tentang
rahasiaku”
“Kalau
kamu gak bilang ke kakak, kakak bakal kasih tau Mama” Hana mengancam sambil
berjalan menuju Mama.
“Bukannya
kakak udah janji gak bakal ngasih tau? Bukannya semua udah clear ? Apa sih yang kakak mau?” Gennady menagih janji. Langkah
Hana terhenti.
“Gen,
kakak gak mau kamu keluar hujan-hujan gini. Kakak gak mau kamu kenapa-kenapa.
Kakak takut. Jalan licin, bahaya.”
Gennady
menunduk “Aku pastiin aku bakal baik-baik aja. Tolong, ijinin aku, kak”
“Dek,
kakak bakal ijinin, tapi kalau hujannya udah reda. Kakak gak mau kamu sakit.
Kakak udah sering pulang malem. Kalau kamu sakit, siapa yang bakal bantu Mama.
Tolong ya” Hana memberikan senyum, agar Gennady setuju. “Oke, sampai hujan
reda” Gennady setuju, sekalipun masih ada raut gelisah. Namun, janggal sekali.
Gemuruh hujan tak sekencang sebelumnya, bahkan tak ada. Suara deru motor yang
mulai terdengar. “Tuhan, terimakasih” ucap Gennady lirih. “Aku berangkat ya
kak” Gennady bergegas pergi keluar. “Hati-hati” ucap Hana tak terdengar oleh
Gennady. Ia melihat usaha adiknya, ngotot.
Segera motor yang membawa Gennady dan temannya melaju, berlalu. “Gennady
sama temennya mau kemana?” Mama bertanya pada Hana.
“Gak
tau ma, dia udah gede ma, gak usah khawatir.”
Langit
tak mendung lagi. Muncul sebuah bintang nan indah. Terang cahayanya. Bintang
memang muncul tanpa permisi.
*******
Kamar
Gennady sudah terkunci rapat. Ia sudah berangkat sekolah. Sebentar lagi ia
pulang. Hari itu adalah hari sabtu.
“Mama,
buku-bukuku dimana sih?” Hana mulai mengobrak-abrik meja belajarnya.
“Lha,
emang tadinya kamu taruh dimana, han?” Mama mulai menghampiri Hana sambil ikut
mencari. Tiba-tiba deru suara motor terdengar. Gennady turun dari ojek,
membayar 4 ribu. Ia berjalan pelan, membawa sesuatu. Segera ia mengetuk pintu.
Hana segera membuka pintu, dia hendak bertanya apa dia melihat bukunya, tapi
setelah terbuka.
“Happy
birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy
birthday to you. Selamat ulang tahun, kak yang ke 20” Gennady tersenyum sambil
membawa kue ulang tahun, dengan lilin merah berbentuk XX, 20 dalam angka
romawi. Hana tercengang “Ini hari ulang tahunku ya?” ia tak percaya hari ini
ulang tahunnya. Gennady hanya tertawa “Kakak sih over sibuk, sampai lupa
ulang tahun sendiri” Mama bahkan tak tahu ulang tahun Hana, mama sendiri tak
ingat ulang tahunnya sendiri.
Prosesi mainstream pun mulai terjadi. Tiup
lilin, potong kue (potongan pertama untuk Gennady), dan seperti biasa, buka
kado. “Tapi, sebelum kasih kado buat kak Hana, aku mau nyampaiin sesuatu. Ini
hadiah buat mama, emang sih hari Ibu udah lewat, tapi gak salah kan kasih
hadiah di hari apapun” Gennady memberi sesuatu untuk Mama. Ternyata nilai
remedial Gennady, 100, dan itu nilai matematika. Mama tersenyum melihat hasil
yang luar biasa. “Gen, walaupun nilai kamu gak 100 pun, walaupun kamu
terus-terusan remedial pun, Mama tetep bangga punya anak kayak kamu.”
“Jadi,
bangganya cuma ke Gennady doang. Oke, fine”
semua tertawa. “Mama juga bangga punya anak yang cantik dan pinter kayak kamu,
Han” hana mulai senyum senyum “Makasih Mama”.
“Ini
hadiah buat kakak” Kotak besar ia berikan untuk Hana. Apasih isinya?
“Jangan-jangan komputer nih” Hana mulai buka kado. Di dalam kado, ada benda
berbentuk balok dibungkus kertas kado. Setelah dibuka isinya…ada kertas di atas
benda itu. ‘Aku tau kakak sibuk, tapi kakak gak perlu tau kalau aku peduli sama
kakak’ begitulah isi tulisannya. Buku-buku kuliahnya menjadi hadiahnya. Ia buka
lembar demi lembar, ternyata tugasnya telah selesai dengan sempurna. Hana
merasa tercengang. Pantas saja buku kuliahnya tak ada tadi.
“Ada lagi
kak. Cek lagi deh” Gennady mulai senyum senyum. Bentuk kadonya lempengan, tapi
bisa ditekuk. Sepertinya kumpulan kertas. Setelah dibuka, ia kembali
tercengang. ‘Aku tau kayaknya kakak lagi stuck
cari ide. Semoga bagus’ begitulah tulisan di atas kado itu. Lembar itu
adalah cerpen buatan Gennady, untuk Hana.
“Awalnya
aku pengen nerusin cerita kakak. Aku sempet ngintip ke kamar kakak. Tapi,
ternyata aku gak bisa. Ya udah aku bikin sendiri” Gennady tersenyum. Hana
kembali tercengang melihat apa yang telah dipersiapkan dan kini ia berikan pada
Hana. Ia kini mengerti mengapa Gennady ngotot pergi keluar malam itu. Tempat nge-print di desanya tutup saat itu. Ia
harus ke desa lain yang agak jauh. Jadi ini rahasia yang telah direncanakan
dengan cukup matang. Rasa penasarannya benar-benar hilang. Rahasia sudah
selesai. Terjawab sudah. Hana segera memeluk Gennady. “Gen, makasih banyak buat
semua ini. Kakak gak nyangka bakal dapet kejutan kayak gini. Makasih banget”.
Gennady tersenyum. Berhasil, pikirnya. “Gak usah lebay gitu kak, sampai netes
segala. Jangan-jangan liur lagi” Gennady mulai bercanda.
“Ah, kamu
tuh Gen. Orang lagi serius juga malah becanda lagi. Lagian bukan air liur tau”
Hana mulai mengusap air matanya. Semua tertawa. Sore itu langit amat cerah,
menerangi sudut-sudut ruang dimana mereka berkumpul. Puji Tuhan, dalam kasih
tiada terputus, hadiah istimewa adalah berbagi kebahagiaan. Atas semua kado
dari-Mu, tanpa menunggu kami berulang tahun, kami berucap beribu puji. Tuhan,
tak peduli banyak orang berbeda cara untuk mencinta-Mu, entah siapa yang salah
atau benar, Kau tetap membalas upaya cinta yang kecil dengan kasih yang besar
tak tertakar. Hana mengucap syukur atas kebahagiaan hari ini. “Tuhan,
terimakasih”.
Nb:
Cerpen yang diberikan kepada Hana berjudul ‘Bintang Muncul Tanpa Permisi’.
Kamis, 11
Desember 2014
20.07