Posted by : Bintang Senja Selasa, 09 Desember 2014



Eksistensi menjadi tema perbincangan manusia yang telah berlangsung berabad-abad, mulai dari keberadaan diri sebagai sebuah manusia yang bukan hanya seonggok “materi”, hingga memahami keberadaan (eksistensi) secara mendalam. Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.
Adapun eksistensialisme menurut pengertian terminologinya adalah suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya, dan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada disekelilingnya, serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan kesadaran. Disini dapat disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari eksistensialisme adalah manusia konkret.Menjadi hal yang wajar bagi setiap manusia jika menawarkan pertanyaan kepada dirinya sendiri tentang arti keberadaan manusia. Jika dari segi keagamaan eksistensi manusia merupakan kehendak Tuhan, namun dari segi filsafat, alasan eksistensi manusia tentunya mesti dapat diterima oleh nalar.
Filsafat eksistensi muncul sebagai reaksi penolakan terhadap aliran lainnya. Ada 2 sayap yang saling berseberangan dan punya pengaruh besar di Barat. Sayap yang satu yaitu kaum neo-positivis dan kaum logikus modern. Mereka adalah para pendukung keeksakan keilmuan dan menurut mereka ketika filsafat berada di luar ilmu, ia tak lagi memiliki arti dan tak dianggap sebagai suatu yang nyata. Mereka sangat menjunjung tinggi ilmu sebagai metode dan kebudayaan Barat. Mereka menolak semua spekulasi metafisis yang secara keilmuan tak mampu dipertahankan.
Adapun sayap yang lain yaitu kaum eksistensialis yang beraliran filsafat eksistensi. Mereka memiliki pandangan yang berbeda dengan kaum neo-positivis dan logikus modern. Di saat kaum neo-postivis dan logikus modern menjadi pusat perhatian Barat, kaum eksistensialis muncul menawarkan aliran yang membawa masyarakat Barat untuk (kembali) mengenal diri sendiri  dan eksistensinya - yang merupakan sikap berpikir yang manusiawi – serta kembali menjadikan manusia sebagai persoalan dalam filsafat. Mereka tidak mendahulukan berpikir mengenai ilmu dan metode keilmuan, melainkan manusia dan kemanusiaan sebagai hal utama. Dari segi pendidikan, eksistensialis menghendaki pola berpikir yang mengutamakan hakikat eksistensi manusia, tidak hanya memikirkan ilmu dan metode keilmuan.
Aliran filsafat eksistensi merupakan reaksi penolakan terhadap pola pemikiran materialisme, yang berpendapat bahwa manusia pada akhirnya adalah benda sekalipun kaum materialisme tidak mengatakan manusia sama dengan benda. Aliran eksistensi juga menolak aliran idealisme yang menempatkan manusia sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran, serta menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan.

Manusia pembelajar (yang biasa kita kenal sebagai murid) merupakan manusia yang berusaha menggali sedalam-dalamnya pengetahuan. Sekolah merupakan wadah bagi murid  untuk mengeksplorasi pengetahuan yang ingin digali. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian siswa / murid / peserta didik berarti orang (anak yang sedang berguru (belajar, bersekolah). Sedangkan menurut Prof. Dr. Shafique Ali Khan, pengertian siswa adalah orang yang datang ke suatu lembaga untuk memperoleh atau mempelajari beberapa tipe pendidikan. Seorang pelajar adalah orang yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun usianya, dari mana pun, siapa pun, dalam bentuk apa pun, dengan biaya apa pun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan kebaikan.
Murid atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Di dalam proses belajar-mengajar, murid sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Murid akan menjadi faktor penentu, sehingga dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.
Murid atau anak adalah pribadi yang “unik” yang mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses berkembang itu anak atau murid membutuhkan bantuan yang sifat dan coraknya tidak ditentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam suatu kehidupan bersama dengan individu-individu yang lain.
Dalam proses belajar-mengajar yang diperhatikan pertama kali adalah murid/anak didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat atau fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan keadaan/karakteristik murid. Itulah sebabnya murid atau anak didik adalah merupakan subjek belajar.
Dengan demikian, tidak tepat kalau dikatakan bahwa murid atau anak didik itu sebagai objek (dalam proses belajar-mengajar). Memang dalam berbagai statment dikatakan bahwa murid/anak didik dalam proses belajar-mengajar sebagai kelompok manusia yang belum dewasa dalam artian jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, memerlukan pembinaaan, pembimbingan dan pendidikan serta usaha orang lain yang dipandang dewasa, agar anak didik dapat mencapai tingkat kedewasaanya. Hal ini dimaksudkan agar anak didik kelak dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, warga negara, warga masyarakat dan pribadi yang bertanggung jawab.
Pernyataan mengenai anak didik sebagai kelompok yang belum dewasa itu, bukan berarti bahwa anak didik itu sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan kemampuan. Anak didik secara kodrati telah memiliki potensi dan kemampuan-kemampuan atau talent tertentu. Hanya yang jelas murid itu belum mencapai tingkat optimal dalam mengembangkan talent atau potensi dan kemampuannya. Oleh karena itu, lebih tepat kalau siswa dikatakan sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar, sehingga murid/anak didik disebut sebagai subjek belajar.
Dalam mengembangkan segala potensi murid secara optimal, tentunya murid perlu mengenal secara utuh siapa dirinya kemudian ia mengenal lebih jauh mengenai keilmuan dan segala metodenya. Hal inilah yang mengakibatkan perlunya pemahaman tentang eksistensialisme. Menurut eksistensialis, mereka tidak mendahulukan berpikir mengenai ilmu dan metode keilmuan, melainkan manusia dan kemanusiaan sebagai hal utama. Dari segi pendidikan, eksistensialis menghendaki pola berpikir yang mengutamakan hakikat eksistensi manusia, tidak hanya memikirkan ilmu dan metode keilmuan.
Istilah eksistensialisme pertama kali digagas oleh Martin Heidegger pada tahun 1889-1976. Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel pada tahun 1859-1938. Munculnya eksistensialisme berawal dari filsafat Kiekegaard dan Neitchze. Metode yang digunakan Heidegger dalam menjelaskan eksistensialisme adalah wujud manusia (Dasein). Ia mencoba membangkitkan kembali pertanyaan yang sangat tua akan makna wujud (eksistensi) manusia seutuhnya dan mencoba menemukan jawaban yang baru atas persoalan tersebut. Bagi para eksistensialis, adanya manusia pembelajar bertujuan  untuk membentuk manusia yang seutuhnya. Menurutnya manusia memiliki bakat yang istimewa untuk memahami eksistensinya, dimana bakat tersebut merupakan salah satu komponen untuk membentuk  manusia seutuhnya. Baginya, yang menjadi persoalan adalah apa hakikatnya dari keberadaan (eksistensi) . Inti pemikirannya adalah memusatkan semua hal kepada manusia dan mengembalikan semua masalah apapun ujung-ujungnya adalah manusia sebagai subjek atau objek dari masalah tersebut.
Pendapat lain disampaikan pula oleh Kierkegaard. Ia berpendapat bahwa Eksistensi manusia terjadi dalam kebebasannya. Baginya, bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka ia tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Dari pendapat beliau, jelas bahwa eksistensialis menilai seorang manusia pembelajar mesti memiliki kebenarian dalam menyampaikan gagasan serta berani berbuat. Kecenderungan seorang siswa untuk tertutup, memiliki rasa malu untuk menyampaikan gagasan, serta ragu-ragu dalam bertindak menunjukkan ketiadaan eksistensialisme sebagaimana yang diharapkan oleh para eksistensialis. Jika seseorang tak mampu memahami eksistensi , ia bisa dikatakan bukanlah seorang manusia pembelajar.
Kierkegaard membagi eksistensi menjadi eksistensi estetis (menyangkut kesenian, keindahan, hal-hal yang mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu, serta tak memiliki ukuran norma), eksistensi etis (manusia tak condong pada hal yang konkret saja tapi juga memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma umum), dan eksistensi religius (tidak lagi membahas hal konkret, dan bergerak ke arah yang absolut yaitu Tuhan, dan segala yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia, serta perpindahan pemikiran logis ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman yang religius). Seorang manusia pembelajar dalam kriteria para eksistensialis adalah manusia yang mampu memahami eksistensi estestis, eksistensi etis, dan eksistensi religius. Mengenai eksistensi etis ,seorang manusia pembelajar patutnya memahami hal yang bersangkut paut dengan norma-norma umum yang berlaku, tidak hanya sekedar memahami metode keilmuan. Hal ini berdampak pada hubungan horizontal yang baik dengan manusia yang lain. Hal ini membuat manusia pembelajar tak hanya sekedar manusia pemuas dahaga ilmu yang menjadikan ia individual, melainkan ia merupakan manusia yang mampu bersosialisasi. Kemudian mengenai eksistensi religius, manusia pembelajar tak hanya mengedepankan nalar, logika, serta ilmu dalam segala hal. Ada hal lain yang tidak bisa dijelaskan oleh akal, yaitu eksistensi Tuhan. Beribadah merupakan kesedian diri untuk mentransformasi pemikiran logisnya ke bentuk religius.
Inti dari pemikirannya tentang eksistensialisme menurut Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan statis tetapi senantiasa terbentuk, manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya hanya sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya mereka untuk menggapai cita-citanya pada masa depan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualisme dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk yang unik dan secara unik pula bertanggung jawab atas nasibnya. Dalam relasinya terhadap pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa eksistensialisme sangat erat dengan pendidikan karena  keduanya bersinggungan dengan masalah-masalah yang sama yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan.
Adapun tujuan dari pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan dirinya. Melihat dari tujuan tersebut, maka diperlukan sistem pembelajaran atau kurikulum yang menunjang semua itu. Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene sebagai “kebangkitan yang luas”. Sastre sempat menyinggung pernyataan Descartes “cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada)”. Ia menyatakan bahwa selama ini manusia hanya mendalami kata  cogito” namun jarang manusia yang memaknai arti “sum”. Di kurikulum, tak hanya diarahkan untuk sekedar berpikir tentang ilmu dan metode keilmuan belaka, melainkan diarahkan untuk mengenal potensi diri atau kemampuan psikomotorik manusia pembelajar. Filsafat eksistensialisme lebih memfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya.
Di dalam kurikulum 2013, diterapkan metode Student Center , yaitu murid (manusia pembelajar) dituntut untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran dimana guru bertindak sebagai fasilitator saja, dan  murid dituntut untuk membangun pengetahunannya sendiri atau mengkonstruksikannya dari pengetahuan-pengetahuan (pengalaman) yang sebelumnya. Mengingat perlunya murid untuk mengkonstruksikan pengetahuannya, maka diperlukan metode yang efisien, salah satunya adalah Learning Community (Diskusi Kelompok). Pada diskusi kelompok, diajarkan tentang mengkomunikasikan informasi secara berdialog dan kebebasan untuk menyampaikan gagasannya. Dalam kaitannya dengan eksistenialisme, menurut Kierkegaard, bereksistensi berarti berani mengambil keputusan, dan jika tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka ia tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Harapan kaum eksistensialis,  individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Maka, sebagaimana dikatakan oleh Van Cleve Morris bahwa penganut eksestensialis dalam pendidikan lebih fokus untuk membantu secara individual dalam merealisasikan diri secara penuh melalui beberapa pernyataan berikut:
  1. Saya sebagai wakil dari kehendak, tidak sanggup menghindar dari kehendak hidup yang telah ada;
  2. Saya sebagai wakil yang bebas, bebas mutlak dalam menentukan tujuan hidup;
  3. Saya wakil yang bertanggungjawab, pribadi yang terukur untuk memilih secara bebas yang tampak pada cara saya menjalani hidup.
Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka  yaang sama satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara personal.
Para guru eksistensialis berusaha keras menjadikan diri sebagai fasilitator. Dalam  aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang  bersamanya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu. Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri.
Pada akhirnya kita menyadari bahwa pandangan eksistensialis tidak selalu dapat diterima oleh kita. Sebagai contoh, adanya paham eksistensialisme atheistik dan eksistensialisme theistik. Tentu saja, sebagai warga negara Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa, tentu pandangan dari eksistensialis theistik yang sejalan dengan bangsa ini. Sekalipun kita patut mengakui bahwa eksistenialisme tidak memiliki relasi langsung dengan pendidikan (dimana kita lebih fokus pada peserta didik), namun  pandangan eksistensialis mengenai pendidikan ternyata memberi sumbangan besar bagi sistem pendidikan Indonesia, contohnya Kurikulum 2013. Segala pandangan eksistensialis terhadap peserta didik membuat kita mengerti bagaimana manusia pembelajar yang seharusnya, serta bagaimana guru sebagai fasilitator menunjang itu semua.

SUMBER :   Filsafat Dewasa Ini , Prof.Dr. Beerling
Pemikiran Pendidikan Menurut Eksistensialisme, Rukiyati     Sahrirpetta.blogspot.in/2011/08/teologi-ontologi-danepistomologidalam.html?m=1         http://myfilsafat.wordpress.com/category/aliran-eksistensialisme/            
http://dadangsetiaone.wordpress.com/



Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kanvas Alfabet - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -