Posted by : Bintang Senja Senin, 22 Desember 2014




Pengertian Tawuran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), yang dimaksud dengan tawuran adalah perkelahian massal atau perkelahian yang dilakukan beramai-ramai. Berdasarkan definisi, maka kata tawuran pelajar dapat diartikan sebagai perkelahian yang dilakukan secara massal / beramai-ramai antara sekelompok pelajar dengan sekelompok pelajar lainnya. Menurut Mansoer (dalam Solikhah, 1999) perkelahian pelajar atau yang biasa disebut dengan tawuran adalah perkelahian massal yang merupakan perilaku kekerasan antar kelompok pelajar laki-laki yang ditujukan pada kelompok pelajar dari sekolah lain.
Menurut Mustofa (1998), tawuran pelajar dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu :
a. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi turun-temurun/bersifat tradisional.
b. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok yang satu berasal dari satu sekolah, sedangkan kelompok yang lainnya berasal dari suatu perguruan yang didalamnya tergabung beberapa jenis sekolah. Permusuhan yang terjadi di antara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
c. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok yang satu berasal dari suatu sekolah, sedangkan kelompok lawannya merupakan koalisi / gabungan dari berbagai macam sekolah yang sejenis. Rasa permusuhan yang terjadi diantara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
d. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang berbeda yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini biasanya dipicu situasi dan kondisi tertentu. Misalnya suatu kelompok pelajar yang sedang menaiki bus secara kebetulan berpapasan dengan kelompok pelajar yang lainnya. Selanjutnya terjadilah saling ejek mengejek sampai akhirnya terjadi tawuran.
e. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang sama tetapi berasal dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya tawuran antara siswa kelas II dengan siswa kelas III.
Pengertian Toleransi
Secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab dikenal dengan tasamuh, yang berarti saling mengizinkan, saling memudahkan. (Al-Munawar, Said. 2001).  Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi merupakan tindakan atau sikap yang mampu menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan yang ada dan menjaganya dalam kehidupan bermasyarakat atau dengan kata lain mampu hidup berdampingan dengan perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat. (Hasyim, Umar. 1979)
 W.J.S Poerwadarminto menyatakan Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaa maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri. (Poerwadarminto, W.J.S.1986) 2. Dewan Ensiklopedia Indonesia Toleransi dalam aspek sosial, politik, merupakan suatu sikap membiarkan orang untuk mempunyai suatu keyakinan yang berbeda. Selain itu menerima pernyataan ini karena sebagai pengakuan dan menghormati hak asasi manusia. (Dewan Ensiklopedia Indonesia. 1988) Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa toleransi adalah suatu sikap atau sifat dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain serta memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia. Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut. (Ali, M. Daud dkk.1989) Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Dengan kata lain, pelaksanaannya hanya pada aspek-aspek yang detail dan teknis bukan dalam persoalan yang prinsipil.

Toleransi dalam Islam
Sebenarnya toleransi lahir dari watak Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dapat dengan mudah mendukung etika perbedaan dan toleransi. AlQur'an tidak hanya mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. alHujurat: 13)”. (Departeman Agama Republik Indonesia. 1989).
Ayat tersebut menunjukkan adanya ketatanan manusia yang essensial dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan yang memisahkan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain, manusia merupakan tiap keluarga besar. Di dalam memaknai toleransi ini terdapat dua penafsiran tentang konsep tersebut. Pertama, penafsiran negatif yang menyatakan bahwa toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama. Sedangkan, yang kedua adalah penafsiran positif yaitu menyatakan bahwa toleransi tidak hanya sekedar seperti pertama (penafsiran negatif) tetapi harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain.
Toleransi pada kaum muslimin seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW, diantaranya sebagai berikut:
a.       Tidak boleh memaksakan suatu agama pada orang lain. Di dalam agama Islam orang muslim tidak boleh melakukan pemaksaan pada kaum agama lainnya, karena memaksakan suatu agama bertentangan dengan firman Allah SWT di dalam surat al-Kafirun: 1 -6.

Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun: 1-6) .

Di situ dijelaskan bahwa orang-orang muslim tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang-orang kafir, begitu pula orang-orang kafir tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang muslim. Di situ juga dijelaskan bahwa bagi kita agama kita (orang muslim) dan bagi mereka agama mereka (orang kafir).

b.      Tidak boleh memusuhi orang-orang selain muslim atau kafir. Perintah Nabi untuk melindungi orang-orang selain muslim seperti yang dilakukan oleh Nabi waktu berada di Madinah. Kaum Yahudi dan Nasrani yang jumlahnya sedikit dilindungi baik keamanannya maupun dalam beribadah. Kaum muslimin dianjurkan untuk bisa hidup damai dengan masyarakat sesamanya walaupun berbeda keyakinan.
Dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda:

Diriwayatkan bahwa Hisyam bin Hakim melihat seorang ahli dzimmah sedang
berdiri di bawah terik matahari. Lalu dia bertanya kepada orang-orang di
sekitarnya mereka berkata: orang tersebut adalah orang yang wajib membayar
denda/upeti. Hisyam mendengar Rasulullah bersabda: siapa menyakiti manusia
di dunia, Allah pasti menyiksanya di akhirat” (HR.Ahmad). (Khotimatul Husna,
40 Hadits Sahih Pedoman Membangun Toleransi)

c. Hidup rukun dan damai dengan sesama manusia Hidup rukun antar kaum muslim maupun non muslim seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW akan membawa kehidupan yang damai dan sentosa, selain itu juga dianjurkan untuk bersikap lembut pada sesama manusia baik yang beragama Islam maupun yang beragama Nasrani atau Yahudi. (Al-Mukhdor, Yunus Ali. 1994)
d. Saling tolong menolong dengan sesama manusia Dengan hidup rukun dan saling tolong menolong sesama manusia akan membuat hidup di dunia yang damai dan tenang. Nabi memerintahkan untuk saling menolong dan membantu dengan sesamanya tanpa memandang suku dan agama yang dipeluknya. Hal ini juga dijelaskan dalam al-Qur'an pada penggalan surat al-Ma'idah ayat 2 sebagai berikut:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa di dalam al-Qur'an dijelaskan dengan sikap tolong menolong tidak hanya pada kaum muslimin tetapi dianjurkan untuk tolong menolong kepada sesama manusia baik itu yang beragama Islam maupun non Islam. Selain itu juga seorang muslim dianjurkan untuk berbuat kebaikan di muka bumi ini dengan sesame makhluk Tuhan dan tidak diperbolehkan untuk berbuat kejahatan pada manusia. Di situ dikatakan untuk tidak mematuhi sesamanya. Selain itu juga dilarang tolong menolong dalam perbuatan yang tidak baik (perbuatan keji atau dosa).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tawuran
Aktornya dalam hal ini adalah remaja pelajar yaitu anak-anak remaja yang duduk di bangku SMA. Ciri khas sosial mereka adalah memiliki solidaritas sosial atau solidaritas kelompok yang tinggi, mudah mengalami frustasi dan kekecewaan, mudah mengalami ketidak nyamanan karena lingkungan sosial fisik yang tidak menyenangkan seperti panas, bising, berjubel.
Menurut teori behaviorisme bahwa tabeat dan tingkah laku manusia terbentuk dari hasil proses pembelajaran dan evolusi lingkungan. Tingkah laku manusia menjadi masalah apabila mereka menerima pembelajaran dan lingkungan yang salah. Dalam pandangan psikologi (Solikhah, Z. 1999), setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar.
Apabila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar, yaitu:
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara singkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin,mudah frustasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan temantemannya, akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari indentitas yang dibangunnya. Parenting yang sangat otoriter atau terlalu mengizinkan, antagonisme, penolakan dan komunikasi yang kurang baik di rumah berkaitan dengan tertariknya remaja kepada teman sebaya karena mereka berhubungan dengan konsep diri negatif remaja dan penyesuaian emosional yang kurang memadai.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam
“mendidik” siswanya.
 4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba, tayangan kekerasan di TV yang hampir tiap hari disaksikan). Begitu pula sarana tranportasi umum yang sering menomor sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bias negara) yang penuh kekerasan seperti yang kita saksikan di tayangan buser, sergap, patroli, dll. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi. Terutama untuk perbuatan-perbuatan anti sosial dan kekerasan seperti yang sering ditayangkan di TV. Yang semuanya itu sadar atau tidak, bisa memicu tindak kekerasan pada remaja. Rasa solidaritas kelompok yang tinggi pada para pelajar SMA, bukan hanya terjadi ketika mereka senang, melainkan juga terjadi saat-saat duka, ada ancaman, kesulitan dan sebagainya.

Dampak Tawuran antar Pelajar
Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, karenanya memilih melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Perkelahian pelajar atau tawuran pelajar jelas merugikan banyak pihak. Paling tidak terdapat empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar :

Pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian mengalami dampak negative pertama, bila mengalami cedera, cacat seumur hidup atau bahkan tewas;

Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti taman kota, trotoar (vas bunga), bus, halte dan fasilitas lainnya serta fasilitas pribadi, seperti kendaraan, pecahnya kaca tokotoko, dll.;

Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah;

Keempat, berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Akibat yang terakhir ini memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Peranan KTI dalam Pendidikan
Pendidikan formal mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai dan budaya nusantara dari derasnya perkembangan teknologi dari Negara-Negara maju. Artinya, pendidikan kita harus tetap mempertahankan tradisi akademik yang kokoh. Yang merupakan bukti eksistensinya terjaga dalam menjaga keaslian iklim akademik. Pendidikan harus tetap menjaga dan melestarikan lima aspek dalam membentuk peserta didik yaitu (1) dimensi intelektual; (2) dimensi kultural; (3) dimensi nilai-nilai transendental; (4) dimensi keterampilan fisik/jasmani; (5) dimensi pembinaan kepribadian manusia sendiri. (Wijdan SZ., Ade Dkk. 2007).
 Kenyataannya, lembaga pendidikan senantiasa mengabaikan kelima aspek diatas, pada akhirnya menyebabkan hilangnya peran proses persemaian nilai-nilai dan budaya kesantunan dan religiusitas yang inklusif. Upaya menciptakan dinamika peradaban manusia yang berbasis ragam merupakan keniscayaan bagi suatu Negara berkembang. Arah pengembangannya tidak boleh kontra produktif dengan nilai-nilai dasar keagamaan dan budaya Timur. Kehidupan masyarakat mengutamakan gaya hidup bebas, budaya pesta, dan perbedaan status sosial. Hal ini agar tidak terjadi krisis intelektual dan moral manusia. Apalagi kehidupan global, langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap nilai-nilai kehidupan masyarakat maupun bangsa.
Pendidikan merupakan cagar budaya dan sistem sosial berpengaruh membentuk kepribadian dan interaksi sosialnya. Pendidikan toleransi, dalam perspektif Islam, tidak dapat dilepaskan dengan konsep pluralitas, sehingga muncul istilah Pendidikan Islam Pluralis Multikultural. Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralitas secara agama, sekaligus berwawasan multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, tawuran, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi. 2008).
Islam inklusif adalah paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan bagi penganutnya. Di samping itu, ia tidak semata-mata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan. Sebaliknya, eksklusif merupakan sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip diri sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran, pikiran, dan prinsip yang dianut orang lain adalah salah, sesat, dan harus dijauhi. (Wijdan SZ., Ade Dkk. 2007) Konsep Toleransi Islam memberikan peranan yang sangat penting dalam pendidikan guna membentuk akhlak siswa, memberi sebuah pandangan bahwa walaupun berbeda dalam segi agama, status sosial dan budaya, tetapi tetap harus bersatu dalam menjunjung tinggi persaudaraan, sikap saling menghormati, dan menyelesaikan masalah dengan cara damai dengan musyawarah.
Penerapan Konsep Toleransi Islam (KTI)
Islam mengajarkan pentingnya untuk toleransi menghargai adanya perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia baik sisi fisik, pemikiran budaya dan lain-lain agar jangan sampai mengakibatkan perseteruan dan permusuhan. Berikut langkah langkah dalam mengendalikan konflik antar pelajar menggunakan Konsep Toleransi Islam :
1. Meningkatkan iman dan taqwa dalam pendidikan agama Meningkatkan program – program yang sasarannya adalah memperkuat keimanan para pelajar. Aktivitas ini dapat meliputi program kegiatan belajar mengajar, seminar, ceramah, ataupun organisasi kerohanian yang dapat meningkatkan perasaan bertanggungjawab dan mengurangi perasaan mementingkan diri sendiri (Al-Qudsi & Abu Bakar, 2006). Agama Islam menegaskan bahwa manusia perlu meningkatkan keimanannya agar Allah SWT berkenan menyatukan hati manusia yang cenderung tidak bersatu dengan yang lainnya.
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang – orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya
kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan mereka”. (QS Al-Anfal:63).
2. Pendekatan persaudaraan Konsep persaudaraan atau persahabatan ini amat ditekankan dalam Islam.

Sesungguhnya orang – orang mukmin bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu”. (QS Al-Hujurat:10).
Konflik juga bisa diarahkan sebagai gejala yang konstruktif dan produktif dengan cara mengembangkan sikap saling menghormati dan kemauan untuk saling mengenal dengan yang lainnya. Perbedaan warna kulit, bangsa, bahasa dan sebagainya memang sering menjadikan manusia berlainan dari segi pemikiran, pandangan, persepsi, kepribadian dan pemahaman. Tetapi perbedaan ini hendaknya dipahami sebagai perintah Allah SWT untuk saling mengenal dan bekerjasama antara satu dan lainnya dan bukan untuk permusuhan.
3. Musyawarah Agama Islam mengajarkan bagaimana menyelesaikan perbedaan atau pertentangan dengan cara-cara damai. Sebenarnya konsep resolusi konflik dalam Islam cenderung memiliki kesamaan dengan manajemen konflik secara umum. Dalam Islam resolusi konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya musyawarah dan perdebatan. Konsep musyawarah telah dianggap sebagai salah satu mekanisme dalam sistem manajemen yang Islami. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan pemerintahan Rasulullah SAW dan Khulafa alRasyidin dalam membangun dan mengembangkan kota Madinah yang penduduknya mempunyai latarbelakang yang berbeda (al-Qudsi & Abu Bakar, 2006).
Salah satu prinsip pemerintahan Qur’ani bagi masyarakat plural yang dicontohkan Beliau dan para sahabatnya adalah musyawarah sebagai mekanisme penyelesaian konflik.

“Dan (bagi) orang yang mau menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka”. (QS Asy-Syuura:38)
4. Metode penyuluhan dan pelatihan Metode penyuluhan digunakan untuk memberikan penyuluhan melalui tatap muka seperti bimbingan langsung kepada para siswa yang belum terlibat (untuk preventif) dan kepada siswa yang sering terlibat tawuran. Sedangkan metode pelatihan digunakan untuk memberikan latihan dan pendidikan kepada siswa bagaimana seharusnya berbuat anti kekerasan dan perkelahian, dan bagaimana trik-trik mengatasi masalah psikologis yang sedang mereka hadapi.

DAFTAR PUSTAKA
Departeman Agama Republik Indonesia. 1989. Al Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta: Mahkota Surabaya. Al-Qudsi, Syarifah Hayati Syed Ismail & Abu Bakar, Mohd Mauli Azli Bin. 2006
Etika Penyelesaian Konflik dalam Pentadbiran Islam: Suatu perbandingan. Malaysia:University of Malaya, Jurnal Syariah, 14:1, p. 122.. Winardi, Prof. Dr. SE. 2004. Manajemen Konflik Perubahan dan Pengembangan., Bandung: Mandar Maju. Wijdan SZ., Ade Dkk. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan multikultural: Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Al-Munawar, Said Agil Husin. 2001. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya : PT. Bina Ilmu. Poerwadarminto, W.J.S.1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dewan Ensiklopedia Indonesia. 1988. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta: Ensiklopedia Indonesia Jilid 6. Ali, M. Daud dkk.1989. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Balai Pustaka.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Kanvas Alfabet - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -