- Back to Home »
- KONSEP TOLERANSI ISLAM (KTI) SEBAGAI PENGENDALI KONFLIK ANTAR PELAJAR DI BANTEN
Posted by : Bintang Senja
Senin, 22 Desember 2014
Pengertian Tawuran
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1990), yang dimaksud dengan tawuran adalah perkelahian massal
atau perkelahian yang dilakukan beramai-ramai. Berdasarkan definisi, maka kata
tawuran pelajar dapat diartikan sebagai perkelahian yang dilakukan secara
massal / beramai-ramai antara sekelompok pelajar dengan sekelompok pelajar
lainnya. Menurut Mansoer (dalam Solikhah, 1999) perkelahian pelajar atau yang
biasa disebut dengan tawuran adalah perkelahian massal yang merupakan perilaku
kekerasan antar kelompok pelajar laki-laki yang ditujukan pada kelompok pelajar
dari sekolah lain.
Menurut Mustofa
(1998), tawuran pelajar dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu :
a. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang
berbeda yang mempunyai rasa permusuhan yang telah terjadi
turun-temurun/bersifat tradisional.
b. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok yang satu
berasal dari satu sekolah, sedangkan kelompok yang lainnya berasal dari suatu
perguruan yang didalamnya tergabung beberapa jenis sekolah. Permusuhan yang
terjadi di antara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
c. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar. Kelompok yang satu
berasal dari suatu sekolah, sedangkan kelompok lawannya merupakan koalisi /
gabungan dari berbagai macam sekolah yang sejenis. Rasa permusuhan yang terjadi
diantara dua kelompok ini juga bersifat tradisional.
d. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang
berbeda yang bersifat insidental. Perkelahian jenis ini biasanya dipicu situasi
dan kondisi tertentu. Misalnya suatu kelompok pelajar yang sedang menaiki bus
secara kebetulan berpapasan dengan kelompok pelajar yang lainnya. Selanjutnya
terjadilah saling ejek mengejek sampai akhirnya terjadi tawuran.
e. Tawuran pelajar antara dua kelompok pelajar dari sekolah yang
sama tetapi berasal dari jenjang kelas yang berbeda, misalnya tawuran antara
siswa kelas II dengan siswa kelas III.
Pengertian Toleransi
Secara etimologi
berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap
membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan
persetujuan. Di dalam bahasa Arab dikenal dengan tasamuh, yang berarti
saling mengizinkan, saling memudahkan. (Al-Munawar, Said. 2001). Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan
bahwa toleransi merupakan tindakan atau sikap yang mampu menghargai dan
menghormati segala bentuk perbedaan yang ada dan menjaganya dalam kehidupan
bermasyarakat atau dengan kata lain mampu hidup berdampingan dengan
perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Pada umumnya, toleransi diartikan
sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga
masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan
nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu
tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan
perdamaian dalam masyarakat. (Hasyim, Umar. 1979)
W.J.S Poerwadarminto menyatakan Toleransi
adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu
pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaa maupun yang lainnya yang berbeda
dengan pendirian sendiri. (Poerwadarminto, W.J.S.1986) 2. Dewan Ensiklopedia
Indonesia Toleransi dalam aspek sosial, politik, merupakan suatu sikap
membiarkan orang untuk mempunyai suatu keyakinan yang berbeda. Selain itu
menerima pernyataan ini karena sebagai pengakuan dan menghormati hak asasi
manusia. (Dewan Ensiklopedia Indonesia. 1988) Dari beberapa definisi di atas
penulis menyimpulkan bahwa toleransi adalah suatu sikap atau sifat dari seseorang
untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain serta memberikan kebenaran atas
perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia. Pelaksanaan sikap
toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan
memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip tersebut. (Ali, M. Daud dkk.1989) Jelas bahwa toleransi terjadi
dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau
prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Dengan kata lain,
pelaksanaannya hanya pada aspek-aspek yang detail dan teknis bukan dalam
persoalan yang prinsipil.
Toleransi dalam Islam
Sebenarnya toleransi
lahir dari watak Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dapat dengan
mudah mendukung etika perbedaan dan toleransi. AlQur'an tidak hanya
mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan keragaman dalam
masyarakat.
Hal ini sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. alHujurat: 13)”. (Departeman Agama Republik Indonesia. 1989).
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. alHujurat: 13)”. (Departeman Agama Republik Indonesia. 1989).
Ayat tersebut
menunjukkan adanya ketatanan manusia yang essensial dengan mengabaikan
perbedaan-perbedaan yang memisahkan antara golongan yang satu dengan golongan
yang lain, manusia merupakan tiap keluarga besar. Di dalam memaknai toleransi
ini terdapat dua penafsiran tentang konsep tersebut. Pertama, penafsiran
negatif yang menyatakan bahwa toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap
membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda
maupun yang sama. Sedangkan, yang kedua adalah penafsiran positif yaitu
menyatakan bahwa toleransi tidak hanya sekedar seperti pertama (penafsiran
negatif) tetapi harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang
lain atau kelompok lain.
Toleransi pada kaum
muslimin seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW, diantaranya sebagai
berikut:
a.
Tidak boleh memaksakan suatu agama pada orang lain. Di dalam agama
Islam orang muslim tidak boleh melakukan pemaksaan pada kaum agama lainnya,
karena memaksakan suatu agama bertentangan dengan firman Allah SWT di dalam
surat al-Kafirun: 1 -6.
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan
menyembah apa yang
kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun: 1-6) .
kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku". (QS. al-Kafirun: 1-6) .
Di situ dijelaskan bahwa orang-orang muslim tidak menyembah apa
yang di sembah oleh orang-orang kafir, begitu pula orang-orang kafir tidak
menyembah apa yang di sembah oleh orang muslim. Di situ juga dijelaskan bahwa
bagi kita agama kita (orang muslim) dan bagi mereka agama mereka (orang kafir).
b.
Tidak boleh memusuhi orang-orang selain muslim atau kafir.
Perintah Nabi untuk melindungi orang-orang selain muslim seperti yang dilakukan
oleh Nabi waktu berada di Madinah. Kaum Yahudi dan Nasrani yang jumlahnya
sedikit dilindungi baik keamanannya maupun dalam beribadah. Kaum muslimin
dianjurkan untuk bisa hidup damai dengan masyarakat sesamanya walaupun berbeda
keyakinan.
Dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda:
Diriwayatkan bahwa Hisyam bin Hakim melihat seorang ahli dzimmah sedang
berdiri di bawah terik matahari. Lalu dia bertanya kepada orang-orang di
sekitarnya mereka berkata: orang tersebut adalah orang yang wajib membayar
denda/upeti. Hisyam mendengar Rasulullah bersabda: siapa menyakiti manusia
di dunia, Allah pasti menyiksanya di akhirat” (HR.Ahmad). (Khotimatul Husna,
40 Hadits Sahih Pedoman Membangun Toleransi)
c. Hidup rukun dan damai dengan sesama manusia Hidup rukun antar
kaum muslim maupun non muslim seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW akan
membawa kehidupan yang damai dan sentosa, selain itu juga dianjurkan untuk
bersikap lembut pada sesama manusia baik yang beragama Islam maupun yang
beragama Nasrani atau Yahudi. (Al-Mukhdor, Yunus Ali. 1994)
d. Saling tolong menolong dengan sesama manusia Dengan hidup rukun
dan saling tolong menolong sesama manusia akan membuat hidup di dunia yang
damai dan tenang. Nabi memerintahkan untuk saling menolong dan membantu dengan
sesamanya tanpa memandang suku dan agama yang dipeluknya. Hal ini juga
dijelaskan dalam al-Qur'an pada penggalan surat al-Ma'idah ayat 2 sebagai
berikut:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa di dalam al-Qur'an dijelaskan
dengan sikap tolong menolong tidak hanya pada kaum muslimin tetapi dianjurkan
untuk tolong menolong kepada sesama manusia baik itu yang beragama Islam maupun
non Islam. Selain itu juga seorang muslim dianjurkan untuk berbuat kebaikan di
muka bumi ini dengan sesame makhluk Tuhan dan tidak diperbolehkan untuk berbuat
kejahatan pada manusia. Di situ dikatakan untuk tidak mematuhi sesamanya.
Selain itu juga dilarang tolong menolong dalam perbuatan yang tidak baik
(perbuatan keji atau dosa).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tawuran
Aktornya dalam hal
ini adalah remaja pelajar yaitu anak-anak remaja yang duduk di bangku SMA. Ciri
khas sosial mereka adalah memiliki solidaritas sosial atau solidaritas kelompok
yang tinggi, mudah mengalami frustasi dan kekecewaan, mudah mengalami ketidak
nyamanan karena lingkungan sosial fisik yang tidak menyenangkan seperti panas,
bising, berjubel.
Menurut teori
behaviorisme bahwa tabeat dan tingkah laku manusia terbentuk dari hasil proses
pembelajaran dan evolusi lingkungan. Tingkah laku manusia menjadi masalah
apabila mereka menerima pembelajaran dan lingkungan yang salah. Dalam pandangan
psikologi (Solikhah, Z. 1999), setiap perilaku merupakan interaksi antara
kecenderungan dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak
selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar.
Apabila dijabarkan,
terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat
perkelahian pelajar, yaitu:
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya
kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks
di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan
semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak.
Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja
yang terlibat perkelahian mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi
memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah
putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang/pihak lain pada
setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara singkat untuk memecahkan
masalah. Pada remaja yang sering berkelahi ditemukan bahwa mereka mengalami
konflik batin,mudah frustasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap
perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka
biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah
antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika
meningkat remaja, belajar melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang
terlalu melindungi anaknya ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang
tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu
bergabung dengan temantemannya, akan menyerahkan dirinya secara total terhadap
kelompoknya sebagai bagian dari indentitas yang dibangunnya. Parenting yang
sangat otoriter atau terlalu mengizinkan, antagonisme, penolakan dan komunikasi
yang kurang baik di rumah berkaitan dengan tertariknya remaja kepada teman
sebaya karena mereka berhubungan dengan konsep diri negatif remaja dan
penyesuaian emosional yang kurang memadai.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga
yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu
harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang
tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana
guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan
sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang
sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam
“mendidik” siswanya.
“mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan.
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga
membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang
sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya
narkoba, tayangan kekerasan di TV yang hampir tiap hari disaksikan). Begitu
pula sarana tranportasi umum yang sering menomor sekiankan pelajar. Juga
lingkungan kota (bias negara) yang penuh kekerasan seperti yang kita saksikan
di tayangan buser, sergap, patroli, dll. Semuanya itu dapat merangsang remaja
untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi. Terutama untuk
perbuatan-perbuatan anti sosial dan kekerasan seperti yang sering ditayangkan
di TV. Yang semuanya itu sadar atau tidak, bisa memicu tindak kekerasan pada
remaja. Rasa solidaritas kelompok yang tinggi pada para pelajar SMA, bukan
hanya terjadi ketika mereka senang, melainkan juga terjadi saat-saat duka, ada
ancaman, kesulitan dan sebagainya.
Dampak Tawuran antar Pelajar
Para pelajar itu
belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan
masalah mereka, karenanya memilih melakukan apa saja agar tujuannya tercapai.
Perkelahian pelajar atau tawuran pelajar jelas merugikan banyak pihak. Paling
tidak terdapat empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar :
Pertama, pelajar dan keluarganya yang terlibat perkelahian mengalami dampak negative pertama, bila mengalami cedera, cacat seumur hidup atau bahkan tewas;
Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti taman kota, trotoar (vas bunga), bus, halte dan fasilitas lainnya serta fasilitas pribadi, seperti kendaraan, pecahnya kaca tokotoko, dll.;
Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah;
Keempat, berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Akibat yang terakhir ini memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Peranan KTI dalam Pendidikan
Pendidikan formal
mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai dan budaya nusantara dari
derasnya perkembangan teknologi dari Negara-Negara maju. Artinya, pendidikan
kita harus tetap mempertahankan tradisi akademik yang kokoh. Yang merupakan
bukti eksistensinya terjaga dalam menjaga keaslian iklim akademik. Pendidikan
harus tetap menjaga dan melestarikan lima aspek dalam membentuk peserta didik
yaitu (1) dimensi intelektual; (2) dimensi kultural; (3) dimensi nilai-nilai
transendental; (4) dimensi keterampilan fisik/jasmani; (5) dimensi pembinaan
kepribadian manusia sendiri. (Wijdan SZ., Ade Dkk. 2007).
Kenyataannya, lembaga pendidikan senantiasa
mengabaikan kelima aspek diatas, pada akhirnya menyebabkan hilangnya peran
proses persemaian nilai-nilai dan budaya kesantunan dan religiusitas yang
inklusif. Upaya menciptakan dinamika peradaban manusia yang berbasis ragam
merupakan keniscayaan bagi suatu Negara berkembang. Arah pengembangannya tidak
boleh kontra produktif dengan nilai-nilai dasar keagamaan dan budaya Timur.
Kehidupan masyarakat mengutamakan gaya hidup bebas, budaya pesta, dan perbedaan
status sosial. Hal ini agar tidak terjadi krisis intelektual dan moral manusia.
Apalagi kehidupan global, langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap
nilai-nilai kehidupan masyarakat maupun bangsa.
Pendidikan merupakan cagar
budaya dan sistem sosial berpengaruh membentuk kepribadian dan interaksi
sosialnya. Pendidikan toleransi, dalam perspektif Islam, tidak dapat dilepaskan
dengan konsep pluralitas, sehingga muncul istilah Pendidikan Islam Pluralis
Multikultural. Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada proses
penyadaran yang berwawasan pluralitas secara agama, sekaligus berwawasan
multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam
pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara
komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis
agama, tawuran, dan integrasi bangsa. Nilai dasar dari konsep pendidikan ini
adalah toleransi. (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi. 2008).
Islam inklusif adalah
paham keberagamaan yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang
ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat
serta keselamatan bagi penganutnya. Di samping itu, ia tidak semata-mata
menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan. Sebaliknya, eksklusif merupakan sikap
yang memandang bahwa keyakinan, pandangan, pikiran, dan prinsip diri sendirilah
yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran, pikiran, dan
prinsip yang dianut orang lain adalah salah, sesat, dan harus dijauhi. (Wijdan
SZ., Ade Dkk. 2007) Konsep Toleransi Islam memberikan peranan yang sangat
penting dalam pendidikan guna membentuk akhlak siswa, memberi sebuah pandangan
bahwa walaupun berbeda dalam segi agama, status sosial dan budaya, tetapi tetap
harus bersatu dalam menjunjung tinggi persaudaraan, sikap saling menghormati,
dan menyelesaikan masalah dengan cara damai dengan musyawarah.
Penerapan Konsep Toleransi Islam (KTI)
Islam mengajarkan
pentingnya untuk toleransi menghargai adanya perbedaan-perbedaan yang dimiliki
manusia baik sisi fisik, pemikiran budaya dan lain-lain agar jangan sampai
mengakibatkan perseteruan dan permusuhan. Berikut langkah langkah dalam
mengendalikan konflik antar pelajar menggunakan Konsep Toleransi Islam :
1. Meningkatkan iman dan taqwa dalam pendidikan agama Meningkatkan
program – program yang sasarannya adalah memperkuat keimanan para pelajar.
Aktivitas ini dapat meliputi program kegiatan belajar mengajar, seminar,
ceramah, ataupun organisasi kerohanian yang dapat meningkatkan perasaan
bertanggungjawab dan mengurangi perasaan mementingkan diri sendiri (Al-Qudsi
& Abu Bakar, 2006). Agama Islam menegaskan bahwa manusia perlu meningkatkan
keimanannya agar Allah SWT berkenan menyatukan hati manusia yang cenderung
tidak bersatu dengan yang lainnya.
“Dan Yang
mempersatukan hati mereka (orang – orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya
kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan mereka”. (QS Al-Anfal:63).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya
kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan mereka”. (QS Al-Anfal:63).
2. Pendekatan persaudaraan Konsep persaudaraan atau persahabatan
ini amat ditekankan dalam Islam.
Sesungguhnya orang – orang mukmin bersaudara karena itu
damaikanlah antara
kedua saudaramu”. (QS Al-Hujurat:10).
kedua saudaramu”. (QS Al-Hujurat:10).
Konflik juga bisa diarahkan sebagai gejala yang konstruktif dan
produktif dengan cara mengembangkan sikap saling menghormati dan kemauan untuk
saling mengenal dengan yang lainnya. Perbedaan warna kulit, bangsa, bahasa dan
sebagainya memang sering menjadikan manusia berlainan dari segi pemikiran,
pandangan, persepsi, kepribadian dan pemahaman. Tetapi perbedaan ini hendaknya
dipahami sebagai perintah Allah SWT untuk saling mengenal dan bekerjasama
antara satu dan lainnya dan bukan untuk permusuhan.
3. Musyawarah Agama Islam mengajarkan bagaimana menyelesaikan
perbedaan atau pertentangan dengan cara-cara damai. Sebenarnya konsep resolusi
konflik dalam Islam cenderung memiliki kesamaan dengan manajemen konflik secara
umum. Dalam Islam resolusi konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara
misalnya musyawarah dan perdebatan. Konsep musyawarah telah dianggap sebagai
salah satu mekanisme dalam sistem manajemen yang Islami. Hal ini dapat
dibuktikan dengan keberhasilan pemerintahan Rasulullah SAW dan Khulafa
alRasyidin dalam membangun dan mengembangkan kota Madinah yang penduduknya
mempunyai latarbelakang yang berbeda (al-Qudsi & Abu Bakar, 2006).
Salah satu prinsip
pemerintahan Qur’ani bagi masyarakat plural yang dicontohkan Beliau dan para
sahabatnya adalah musyawarah sebagai mekanisme penyelesaian konflik.
“Dan (bagi) orang yang mau menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka”. (QS Asy-Syuura:38)
4. Metode penyuluhan dan pelatihan Metode penyuluhan digunakan
untuk memberikan penyuluhan melalui tatap muka seperti bimbingan langsung
kepada para siswa yang belum terlibat (untuk preventif) dan kepada siswa yang
sering terlibat tawuran. Sedangkan metode pelatihan digunakan untuk memberikan
latihan dan pendidikan kepada siswa bagaimana seharusnya berbuat anti kekerasan
dan perkelahian, dan bagaimana trik-trik mengatasi masalah psikologis yang
sedang mereka hadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Departeman Agama
Republik Indonesia. 1989. Al Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta: Mahkota
Surabaya. Al-Qudsi, Syarifah Hayati Syed Ismail & Abu Bakar, Mohd Mauli
Azli Bin. 2006
Etika Penyelesaian Konflik dalam Pentadbiran Islam: Suatu perbandingan. Malaysia:University of Malaya, Jurnal Syariah, 14:1, p. 122.. Winardi, Prof. Dr. SE. 2004. Manajemen Konflik Perubahan dan Pengembangan., Bandung: Mandar Maju. Wijdan SZ., Ade Dkk. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan multikultural: Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Al-Munawar, Said Agil Husin. 2001. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya : PT. Bina Ilmu. Poerwadarminto, W.J.S.1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dewan Ensiklopedia Indonesia. 1988. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta: Ensiklopedia Indonesia Jilid 6. Ali, M. Daud dkk.1989. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Balai Pustaka.
Etika Penyelesaian Konflik dalam Pentadbiran Islam: Suatu perbandingan. Malaysia:University of Malaya, Jurnal Syariah, 14:1, p. 122.. Winardi, Prof. Dr. SE. 2004. Manajemen Konflik Perubahan dan Pengembangan., Bandung: Mandar Maju. Wijdan SZ., Ade Dkk. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan multikultural: Konsep dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Al-Munawar, Said Agil Husin. 2001. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press. Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya : PT. Bina Ilmu. Poerwadarminto, W.J.S.1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dewan Ensiklopedia Indonesia. 1988. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta: Ensiklopedia Indonesia Jilid 6. Ali, M. Daud dkk.1989. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Balai Pustaka.